Rabu, 11 September 2024

PENGEMBARA 5


 

PART 5.

“aaaah…” desah Nirahai kaget.
“gila vagina Nirahai ternyata masih menggigit, sempit, dan kengat” pikir Ken Ken.
Lalu mulailah Nirahai bergerak naik turun mulai tempo pelan sampai tempo tinggi.
“aaaah…aaahh…aaaahh” desah Nirahai sambil gerak naik turun diikuti irama gerakan Nirahai naik turun sambil ia pegang kedua payudaranya, diremas-remas, pelintir-pelintir pentil.
“aaah…aaaah…enak aaah…sayang enak…aaaah” kata Nirahai sambil mendesah yang, mulai tidak teratur, 5 menit kemudian tubuh Nirahai mengejang yang menandakan sedang orgasme
“aaaaggggghhhhh…..haah…haa ah” jerit Nirahai pelan sambil mengejang lalu diposisikan tubuh di dudukan dengan memeluk tubuh Nirahai yang mana duduk diatas pakenya dengan kaki melingkar di pinggul Ken Ken sambil diciumi bibirnya yang mungil, dibisikkan “enakkah?..sekarang goyangkan pantatmu” kemudian Nirahai menggoyangkan pantatnya pelan
“haaah…aaah…aaah” desah Nirahai. 2 menit kemudian ia bisikkan lagi “lebih cepat Nirahai…aaah..”
Yang dimana kemudian Nirahai mempercepat gerakkannya “aaah…aaah…aaah” desahnya
“aaah…mmmmhh…aaah sayang..aaah” desahnya sambil mencium mulut Ken Ken
“aaahh…mau keluar Nirahai” tanya Ken Ken yang dimana dirasakan vaginanya mulai menjepit erat
“aaah…aaah…sayang…aa ahh” Nirahai kenya mendesah tanpa bisa menjawab pertanyaan Ken Ken
“aaahh..aaaah…aaaaaagggghhh. ..mmmm….mmmm” jerit Nirahai sambil tubuhnya mengejang tubuh Nirahai roboh kebelakang, dimana posisi kakinya masih ngangkang dan penis Ken Ken masih dalam vaginanya langsung aja ia genjot, tanpa menunggu Nirahai memulihkan tenaga
“aaah..aaah…aaah” Nirahai mendesah dengan pasrah karena tenaganya belum pulih.

Dengan pelan-pelan dirobah posisi dari tegak ke posisi rebaken menindih tubuh Nirahai, dapat dirasakan gerakan payudaranya menggesek dada Ken Ken sangat enak rasanya. Tak lama kemudian dirasakan vaginanya mulai menjepit penis yang dimana sebentar lagi nirahai Orgasme
“aaahh…sayaang..aah…aaaagg gghhhh” teriak Nirahai pelan
Sambil tubuh Nirahai mengejang gara-gara orgasme, tidak ada tanda-tanda ia stop genjotannya.
“aah..aah..enak?” Tanya Ken Ken.
“mmm…aaaah…enak…aaaa h” jawab Nirahai
5 menit kemudian dirasakan lagi vagina Nirahai mulai menjepit, dipercepatnya goyangan Ken Ken, semakin keras jepitan vaginanya.
Rasa yang dirasakan tidak terbayang enaknya, akhirnya iapun merasakan mau ikutan meledak
“aaah..aah..aku mau keluar sayang…” desah Ken Ken
“aaahh…aaaah….aku juga…aaah..aaahhh” jawab Nirahai
Mau dicabut penis Ken Ken tapi rasanya sulit gara-gara jepitan vaginanya dan jepitan paha Nirahai yang erat.
“aaahh…aaahhh…aaaaaggghhh. ..hah…haah” teriak Nirahai
“aaaggghhh…” teriak Ken Ken pelan.
Dikeluarkannya semua sperma Ken Ken di dalam vaginanya tanpa khawatir bisa hamil.
“…kamu hebat sayang…”Kata Nirahai dengan mimik puas
“terimakasih…sayang…” jawab Ken Ken…
Betapapun besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu asmara yang lebih besar dan dah­syat daripada badai dan ombak pun akhirnya akan mereda juga. Selama satu bu­lan, Ken Ken dan Nirahai seolah-olah lupa segala, tidak peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya kenya berlum­ba merenggut madu asmara yang makin direguk makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat sebulan, cinta kasih mere­ka yang menyala-nyala terbakar nafsu berahi, mulai mereda dan mulailah mere­ka berdua sadar bahwa cinta kasih bu­kanlah cinta berahi semata, dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mere­ka! Bagaikan dua orang yang mengaso tenang setelah diombang-ambingkan ge­lombang dahsyat, selama sebulan lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Ken Ken duduk bersandar batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di waktu “memancing”. Nirahai duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan kepala dengan rambut terurai lepas itu di atas dada Ken Ken. Sampai berjam-jam keduanya duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan kebahagiaan, dengan kepuasan, saling menikmati ke­hadiran kekasih masing-masing yang kenya terasa oleh detik jantung dan alunan nafas.
Angin semilir dari tengah telaga da­tang, bertiup membuat rambut yang hitam berikal melambai dan menggelitik leher Ken Ken, menyadarkan pemuda ini dari lamunan nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir rasa gatal dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan mengelus rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra. “Nirahai, isteriku tercinta….”
Nirahai bergerak, menengadah dan tersenyum memandang wajah Ken Ken. “Dan engkau suamiku….”
Ken Ken menunduk dan memberi hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang menggetarkan perasaannya itu.

Biasanya, selama sebulan ini, sebuah ciuman saja sudah cukup membuat keduanya teng­gelam dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang asmara yang mengkenyutkan. Akan tetapi kini Ken Ken dapat menaken diri dan ia berbisik.
“Nirahai, aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir dan menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke sana….”
Sepasang mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti orang mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Ken Ken itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang lain daripada cumbu rayu se­hingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih mereka! Matanya mulai bersinar, perlaken ia bangkit dari dada suaminya, lalu duduk di atas tanah bertilam rum­put, memutar tubuh berhadapan dengan Ken Ken. Kedua tangannya mulai me­milin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan terurai lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Ken Ken yang penuh cinta kasih. Baru saat itulah keduanya saling pandang dalam keadaan sadar, dan otomatis tim­bul kerut-kerut kecil di wajah mereka, Ken Ken pada dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
“Ken Ken, engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng atau ke manapun juga. Aku telah menjadi seorang pelarian, dan aku me­rasa malu untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku adalah seorang puteri pelari­an.”
“Mengapa tidak mungkin, isteriku?” Ken Ken menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa tidak mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti? Andaikata engkau dikejar, apakah kita tidak mampu me­lawan? Dan mengapa pula malu kepada orang lain? Siapa yang akan berani meng­hinamu? Akan kukencurkan mulut yang berani mengejekmu.”
Nirahai menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku. Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana matang yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan baru sekarang akan kusampaikan kepadamu.”
Berdebar jantung Ken Ken, seolah-olah ada firasat tidak enak terasa oleh­nya. Ia menatap wajah Nirahai dan de­ngan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa wajah yang cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam ia menjadi gelisah, akan te­tapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.
“Nirahai, bagaimanakah rencanamu itu?”
“Di selatan ini aku yang telah membuat jasa besar telah dimusuhi oleh ke­rajaan. Karena itu, jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khi­tan aku akan lebih dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini menjadi seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya ke sana dan engkau…. Kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Ken Ken.”
Sejenak kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam da­lam lautan asmara itu, kini saling ber­pandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling ber­tentangan.
“Aku harus mengurus pernikaken adikku….” Ken Ken membantah lemah, berpegang kepada alasan ini untuk menarik Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya akan pergi ke utara di luar tem­bok besar.

Nirahai mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Ken Ken, menciumnya mesra yang dibalas Ken Ken sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.
“Aku tahu, Ken Ken. Memang seharus­nya engkau menghadiri pernikaken Lulu. Pergilah ke Kwan-teng dan uruslah pernikaken adik kita itu. Aku akan menanti­mu di sini dan kalau engkau sudah kem­bali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke utara.”
Ken Ken mengerutkan keningnya de­ngan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau apa ke sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya? Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya, dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik dan pemerin­taken lagi di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia di sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar bagi ke­bahagiaan dia dan Nirahai menunggunya di utara! Cepat ia memegang kedua pundak Nirahai, memaksa kekasihnya itu meng­hadapnya dan memandang wajah yang jelita itu penuh selidik.
“Nirahai, ke­kasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup sengsara tanpa engkau di sampingku! Marilah eng­kau ikut bersamaku, ke Kwan-teng, ke­mudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan kita melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku…. Aku mendapat firasat buruk, kalau kita pergi ke utara…. Tentu kita akan terlibat dan terseret lagi dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seper­ti sepasang burung dara di angkasa…. Marilah, Nirahai sebelum terlambat.”
Ken Ken yang merasa gelisah itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya, akan tetapi tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari pelukan Ken Ken, mundur tiga langkah dan menatap wajah Ken Ken dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin murung.
“Ken Ken, sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku terlena dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa tak mungkin bagiku hidup seperti seorang petualangan yang tak tentu tem­pat tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara dan bangsa! Biarpun kini kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.”
Ken Ken menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi engkau isteriku yang tercinta!”

Nirahai tersenyum pahit. “Memang, aku isterimu yang mencintamu, Ken Ken. Aku cinta kepadamu, demi Tuken aku cinta padamu, tapi….”
“Tapi engkau lebih cinta kepada bangsamu?” Ken Ken berseru penasaran dan hatinya berduka sekali. Sadarlah ia kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh bedanya dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi ke­indaken yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa me­miliki jiwa seperti Lulu yang lebih polos dan jujur, yang menganggap sama antara bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak me­naruh dendam terhadap bangsa pribumi, bahkan telah mengambil tindakan me­ngagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu, pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat! Nirahai juga tidak mem­punyai permusuken pribadi dengan kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa melebihi apa pun juga!
Mendengar tuduken Ken Ken itu, Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Me­mang betul, Ken Ken. Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih cinta kepada bangsaku yang melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah seorang yang ber­pengetahuan luas, tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan. Betapapun juga, aku cinta kepadamu, suamiku, ahhh, betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihilah aku, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dan yang akan mengkencurkan kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita pergi ke utara dan melupakan segala! Marilah, Ken Ken, demi cinta kasih kita….!”
Suara Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak perlaken. Ken Ken ter­kejut dan makin terharu. Isterinya, ke­kasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata telah menderita tekanan batin hebat sekali!
Ia segera memeluknya dan mereka berciuman penuh kemesraan. Sesaat per­tentangan faham yang timbul dari percakapan tadi terlupa dan lenyap, teng­gelam oleh rasa cinta kasih mereka. Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar dan teringat akan urusan penting yang me­reka hadapi dan yang tak mungkin me­reka hindari.
“Ken Ken, kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat baik, yang boleh dipercaya, aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau masih mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.”
Ken Ken menggeleng kepala. “Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku menyaksikan pernikaken adikku, Nirahai.”
“Kalau begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat pula. Aku akan me­nantimu di sini, suamiku.”
Ken Ken termenung, keningnya ber­kerut dan wajahnya muram. Tak disangka­nya sama sekali bahwa dia harus meng­hadapi keputusan yang begitu sukar dan yang akan mengkencurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya bersama Nirahai di utara, di antara bangsa Mo­ngol yang asing baginya sama sekali! Dia membayangkan Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara bangsa Mongol dan dia sendiri…. Dia kenyalah suami sang puteri yang bagaimanapun juga ti­dak mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia kenya akan “mem­bonceng” kemuliaan isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang suami bangsa asing, yang buntung pula. Ken Ken ber­gidik ngeri.

“Tidak, Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut ber­samaku! Setelah aku merayakan pernikaken Lulu, kita berdua akan pergi, ke ma­na saja, asal bebas dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bah­wa kita berdua tidak akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar merah dan Ken Ken terkejut, maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi daripada badai asmara yang memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang sampai terdengar nyata, Nirahai berkata, “Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini….! Jodoh takkan dapat kekal kenya didasari cinta berahi saja! Yang penting adalah kese­suaian faham dan cita-cita! Ahhh, Ken Ken, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi per­mintaanku ikut dengan aku sekarang juga ke utara.”
“Engkau yang tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih mencinta cita-citamu!”
“Dan engkau, Ken Ken, engkau seperti telah buta. Engkau memang mencintaku, cinta nafsu, cinta berahi, padahal sesungguhnya engkau mencinta…. Lulu!”
Ken Ken meloncat kaget dan meman­dang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Apa…. Apa kau bilang….?”
Nirahai tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya. Ia tertawa akan tetapi me­nangis, amat mengharukan ketika suara­nya yang gemetar berkata, “Kuketahui setelah terlambat! Baru pada akhir-akhir ini…. Engkau mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari Lulu. Tanpa kausadari, mu­lutmu yang menciumi bibirku membisik­kan nama Lulu! Saat itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu! Akan tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata Lulu. Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Ken Ken. Mencintamu dengan sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya terhadap­mu jauh lebih murni daripada cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang kaukehendaki. Akan tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi disesalkan, kita telah menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi karena hal itu akan berarti mengkencur­kan kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan engkau mencintaku. Sungguhpun mungkin cinta kasih di antara kita lebih disuburkan oleh nafsu berahi karena kita saling mengagumi, namun kita dapat menikmati cinta kasih kita bersama. Se­karang belum terlambat, marilah kita pergi ke utara.”
Ken Ken menjadi pucat sekali wajah­nya, matanya kehilangan sinarnya. Pukul­an batin yang dideritanya sekali ini ter­lalu berat baginya. Kenyataan yang di­buka secara terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui kebenaran ucapan Nirahai. Be­tapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia ter­gila-gila kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!
“Nirahai, terima kasih. Engkau hebat dan jujur, aku amat menghargai keterus­teranganmu. Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu. Sudah semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan menuruti kehendak­mu. Akan tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan pernikaken adikku, baru kita bicara lagi tentang ke utara.”

Nirahai membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan sudah habis ke­sabarannya.
“Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil keputusan! Ken Ken, kita bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sen­diri karena hal ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak dapat diubah-ubah lagi, Ken Ken. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu sebagai seorang isteri yang mencintannu sampai kematian memisahkan kita. Akan tetapi, di sam­ping itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan diriku untuk nusa bangsaku, biarpun dengan cara lain dari­pada yang sudah-sudah. Aku kenya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!”
Sementara itu, biarpun amat berduka, Ken Ken sudah pula berpikir masak-masak, maka ia menjawab, “Aku pun sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu dan aku akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan urusan pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih dulu, ke­mudian aku akan mengikutimu ke mana­pun engkau pergi, akan tetapi aku kenya minta engkau tidak mencampuri urusan negara yang kenya akan merenggangkan hubungan kita suami isteri.”
Sejenak sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring. “Sudah tetapkah keputusan hatimu itu?”
Ken Ken mengangguk tanpa mengalih­kan pandang matanya yang bertaut de­ngan pandang mata Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.
“Nirahai….!” Ken Ken maju hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai ter­tawa seperti itu, dengan muka pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut tertarik seperti orang menangis, seperti mayat tertawa!
“Jangan dekati!” Nirahai membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak, “Kalau begitu keputusan kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih ce­pat lebih baik. Nah, selamat tinggal, Ken Ken. Engkau kekasihku, engkau suamiku, akan tetapi juga musuhku! Engkau ku­cinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah berkata demikian, puteri jelita itu me­loncat dan lari pergi secepat kilat.“Nirahai….!” Ken Ken menjerit, kenya lirih keluar dari mulut, akan tetapi amat nyaring keluar dari hatinya yang berdarah. Ia berdiri termenung meman­dang sampai bayangan Nirahai lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat beban yang menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak bergerak. Kenya air matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.
“Nirahai…. Nirahai….!” Hatinya menjerit-jerit.
“Nirahai….! Lulu….! Lulu….!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya membuat ia seolah-olah men­jadi batu.
Kalau saja Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan kembali ke tempat itu, tentu hati wanita ini akan kencur luluh dan mencair me­lihat keadaan Ken Ken. Sampai tiga hari tiga malam Ken Ken masih berdiri di tempat itu, bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk mem­bisikkan nama Nirahai dan Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambut­nya. Rambut yang gemuk dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah menjadi putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang kakek berusia seratus tahun! Selama tiga hari tiga malam ini, terjadi perubaken hebat pada dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairaken hidup. Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang selama tiga hari tiga ma­lam itu Ken Ken kenya memikirkan na­sibnya. Hidup semenjak kecil baginya kenya merupakan serangkaian kesengsa­raan yang tidak ada putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit perasaan.,

TAMAT.