PART
5.
“aaaah…” desah Nirahai kaget.
“gila vagina Nirahai ternyata masih menggigit, sempit, dan kengat” pikir Ken Ken.
Lalu mulailah Nirahai bergerak naik turun mulai tempo pelan sampai tempo
tinggi.
“aaaah…aaahh…aaaahh” desah Nirahai sambil gerak naik turun diikuti irama
gerakan Nirahai naik turun sambil ia pegang kedua payudaranya, diremas-remas,
pelintir-pelintir pentil.
“aaah…aaaah…enak aaah…sayang enak…aaaah” kata Nirahai sambil mendesah yang,
mulai tidak teratur, 5 menit kemudian tubuh Nirahai mengejang yang menandakan
sedang orgasme
“aaaaggggghhhhh…..haah…haa ah” jerit Nirahai pelan sambil mengejang lalu
diposisikan tubuh di dudukan dengan memeluk tubuh Nirahai yang mana duduk
diatas pakenya dengan kaki melingkar di pinggul Ken Ken sambil diciumi bibirnya
yang mungil, dibisikkan “enakkah?..sekarang goyangkan pantatmu” kemudian
Nirahai menggoyangkan pantatnya pelan
“haaah…aaah…aaah” desah Nirahai. 2 menit kemudian ia bisikkan lagi “lebih cepat
Nirahai…aaah..”
Yang dimana kemudian Nirahai mempercepat gerakkannya “aaah…aaah…aaah” desahnya
“aaah…mmmmhh…aaah sayang..aaah” desahnya sambil mencium mulut Ken Ken
“aaahh…mau keluar Nirahai” tanya Ken Ken yang dimana dirasakan vaginanya mulai
menjepit erat
“aaah…aaah…sayang…aa ahh” Nirahai kenya mendesah tanpa bisa menjawab pertanyaan
Ken Ken
“aaahh..aaaah…aaaaaagggghhh. ..mmmm….mmmm” jerit Nirahai sambil tubuhnya
mengejang tubuh Nirahai roboh kebelakang, dimana posisi kakinya masih ngangkang
dan penis Ken Ken masih dalam vaginanya langsung aja ia genjot, tanpa menunggu
Nirahai memulihkan tenaga
“aaah..aaah…aaah” Nirahai mendesah dengan pasrah karena tenaganya belum pulih.
Dengan
pelan-pelan dirobah posisi dari tegak ke posisi rebaken menindih tubuh Nirahai,
dapat dirasakan gerakan payudaranya menggesek dada Ken Ken sangat enak rasanya.
Tak lama kemudian dirasakan vaginanya mulai menjepit penis yang dimana sebentar
lagi nirahai Orgasme
“aaahh…sayaang..aah…aaaagg gghhhh” teriak Nirahai pelan
Sambil tubuh Nirahai mengejang gara-gara orgasme, tidak ada tanda-tanda ia stop
genjotannya.
“aah..aah..enak?” Tanya Ken Ken.
“mmm…aaaah…enak…aaaa h” jawab Nirahai
5 menit kemudian dirasakan lagi vagina Nirahai mulai menjepit, dipercepatnya
goyangan Ken Ken, semakin keras jepitan vaginanya.
Rasa yang dirasakan tidak terbayang enaknya, akhirnya iapun merasakan mau
ikutan meledak
“aaah..aah..aku mau keluar sayang…” desah Ken Ken
“aaahh…aaaah….aku juga…aaah..aaahhh” jawab Nirahai
Mau dicabut penis Ken Ken tapi rasanya sulit gara-gara jepitan vaginanya dan
jepitan paha Nirahai yang erat.
“aaahh…aaahhh…aaaaaggghhh. ..hah…haah” teriak Nirahai
“aaaggghhh…” teriak Ken Ken pelan.
Dikeluarkannya semua sperma Ken Ken di dalam vaginanya tanpa khawatir bisa
hamil.
“…kamu hebat sayang…”Kata Nirahai dengan mimik puas
“terimakasih…sayang…” jawab Ken Ken…
Betapapun besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu
asmara yang lebih besar dan dahsyat daripada badai dan ombak pun akhirnya akan
mereda juga. Selama satu bulan, Ken Ken dan Nirahai seolah-olah lupa segala,
tidak peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya kenya berlumba merenggut
madu asmara yang makin direguk makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat
sebulan, cinta kasih mereka yang menyala-nyala terbakar nafsu berahi, mulai
mereda dan mulailah mereka berdua sadar bahwa cinta kasih bukanlah cinta
berahi semata, dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mereka! Bagaikan
dua orang yang mengaso tenang setelah diombang-ambingkan gelombang dahsyat,
selama sebulan lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Ken Ken
duduk bersandar batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk
Koai-lojin di waktu “memancing”. Nirahai duduk di depannya, setengah
dipangkunya dan merebahkan kepala dengan rambut terurai lepas itu di atas dada Ken
Ken. Sampai berjam-jam keduanya duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh
dengan kebahagiaan, dengan kepuasan, saling menikmati kehadiran kekasih
masing-masing yang kenya terasa oleh detik jantung dan alunan nafas.
Angin semilir dari tengah telaga datang, bertiup membuat rambut yang hitam
berikal melambai dan menggelitik leher Ken Ken, menyadarkan pemuda ini dari
lamunan nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir
rasa gatal dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan
mengelus rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra.
“Nirahai, isteriku tercinta….”
Nirahai bergerak, menengadah dan tersenyum memandang wajah Ken Ken. “Dan engkau
suamiku….”
Ken Ken menunduk dan memberi hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang
menggetarkan perasaannya itu.
Biasanya,
selama sebulan ini, sebuah ciuman saja sudah cukup membuat keduanya tenggelam
dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang
hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang
asmara yang mengkenyutkan. Akan tetapi kini Ken Ken dapat menaken diri dan ia
berbisik.
“Nirahai, aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir
dan menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke sana….”
Sepasang mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti
orang mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Ken
Ken itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang
lain daripada cumbu rayu sehingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar
bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih
mereka! Matanya mulai bersinar, perlaken ia bangkit dari dada suaminya, lalu
duduk di atas tanah bertilam rumput, memutar tubuh berhadapan dengan Ken Ken.
Kedua tangannya mulai memilin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan
terurai lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Ken Ken yang
penuh cinta kasih. Baru saat itulah keduanya saling pandang dalam keadaan
sadar, dan otomatis timbul kerut-kerut kecil di wajah mereka, Ken Ken pada
dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
“Ken Ken, engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng
atau ke manapun juga. Aku telah menjadi seorang pelarian, dan aku merasa malu
untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku
adalah seorang puteri pelarian.”
“Mengapa tidak mungkin, isteriku?” Ken Ken menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa
tidak mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti? Andaikata engkau dikejar,
apakah kita tidak mampu melawan? Dan mengapa pula malu kepada orang lain?
Siapa yang akan berani menghinamu? Akan kukencurkan mulut yang berani
mengejekmu.”
Nirahai menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku.
Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana
matang yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan baru sekarang akan
kusampaikan kepadamu.”
Berdebar jantung Ken Ken, seolah-olah ada firasat tidak enak terasa olehnya.
Ia menatap wajah Nirahai dan dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa
wajah yang cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam
ia menjadi gelisah, akan tetapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.
“Nirahai, bagaimanakah rencanamu itu?”
“Di selatan ini aku yang telah membuat jasa besar telah dimusuhi oleh kerajaan.
Karena itu, jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khitan aku
akan lebih dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini
menjadi seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya
ke sana dan engkau…. Kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Ken Ken.”
Sejenak kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam dalam lautan
asmara itu, kini saling berpandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran
menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling bertentangan.
“Aku harus mengurus pernikaken adikku….” Ken Ken membantah lemah, berpegang
kepada alasan ini untuk menarik Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya
akan pergi ke utara di luar tembok besar.
Nirahai
mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Ken Ken, menciumnya mesra yang
dibalas Ken Ken sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa
dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang
sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.
“Aku tahu, Ken Ken. Memang seharusnya engkau menghadiri pernikaken Lulu.
Pergilah ke Kwan-teng dan uruslah pernikaken adik kita itu. Aku akan menantimu
di sini dan kalau engkau sudah kembali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua
baru pergi ke utara.”
Ken Ken mengerutkan keningnya dengan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau
apa ke sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya?
Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya,
dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik dan pemerintaken
lagi di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia
di sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar bagi kebahagiaan dia
dan Nirahai menunggunya di utara! Cepat ia memegang kedua pundak Nirahai,
memaksa kekasihnya itu menghadapnya dan memandang wajah yang jelita itu penuh
selidik.
“Nirahai, kekasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup
sengsara tanpa engkau di sampingku! Marilah engkau ikut bersamaku, ke
Kwan-teng, kemudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan
kita melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku…. Aku mendapat firasat
buruk, kalau kita pergi ke utara…. Tentu kita akan terlibat dan terseret lagi
dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup
merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seperti sepasang burung
dara di angkasa…. Marilah, Nirahai sebelum terlambat.”
Ken Ken yang merasa gelisah itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya,
akan tetapi tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari pelukan Ken Ken, mundur tiga
langkah dan menatap wajah Ken Ken dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi
sikap dingin murung.
“Ken Ken, sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku
terlena dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa
tak mungkin bagiku hidup seperti seorang petualangan yang tak tentu tempat
tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang
semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara
dan bangsa! Biarpun kini kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku
tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.”
Ken Ken menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi
engkau isteriku yang tercinta!”
Nirahai
tersenyum pahit. “Memang, aku isterimu yang mencintamu, Ken Ken. Aku cinta
kepadamu, demi Tuken aku cinta padamu, tapi….”
“Tapi engkau lebih cinta kepada bangsamu?” Ken Ken berseru penasaran dan
hatinya berduka sekali. Sadarlah ia kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang
membuat Nirahai amat jauh bedanya dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip
sekali, mempunyai segi-segi keindaken yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa
Nirahai tidak mungkin bisa memiliki jiwa seperti Lulu yang lebih polos dan
jujur, yang menganggap sama antara bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak menaruh
dendam terhadap bangsa pribumi, bahkan telah mengambil tindakan mengagumkan
dengan mengangkat Lauw-pangcu, pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat!
Nirahai juga tidak mempunyai permusuken pribadi dengan kaum pejuang, akan
tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang
yang lebih mencinta negara dan bangsa melebihi apa pun juga!
Mendengar tuduken Ken Ken itu, Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Memang
betul, Ken Ken. Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih cinta kepada bangsaku
yang melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah seorang yang berpengetahuan
luas, tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan. Betapapun juga, aku cinta
kepadamu, suamiku, ahhh, betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihilah
aku, sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dan yang akan mengkencurkan
kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita pergi ke utara dan
melupakan segala! Marilah, Ken Ken, demi cinta kasih kita….!”
Suara Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak perlaken. Ken Ken terkejut
dan makin terharu. Isterinya, kekasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata
telah menderita tekanan batin hebat sekali!
Ia segera memeluknya dan mereka berciuman penuh kemesraan. Sesaat pertentangan
faham yang timbul dari percakapan tadi terlupa dan lenyap, tenggelam oleh rasa
cinta kasih mereka. Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka
kembali sadar dan teringat akan urusan penting yang mereka hadapi dan yang tak
mungkin mereka hindari.
“Ken Ken, kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat
baik, yang boleh dipercaya, aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang
pemuda yang baik sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu,
mengapa engkau masih mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara
sekarang juga.”
Ken Ken menggeleng kepala. “Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku
menyaksikan pernikaken adikku, Nirahai.”
“Kalau begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat pula. Aku akan menantimu di
sini, suamiku.”
Ken Ken termenung, keningnya berkerut dan wajahnya muram. Tak disangkanya
sama sekali bahwa dia harus menghadapi keputusan yang begitu sukar dan yang
akan mengkencurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya bersama Nirahai di
utara, di antara bangsa Mongol yang asing baginya sama sekali! Dia
membayangkan Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara bangsa Mongol
dan dia sendiri…. Dia kenyalah suami sang puteri yang bagaimanapun juga tidak
mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia kenya akan “membonceng”
kemuliaan isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang suami bangsa asing, yang
buntung pula. Ken Ken bergidik ngeri.
“Tidak,
Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut bersamaku! Setelah
aku merayakan pernikaken Lulu, kita berdua akan pergi, ke mana saja, asal
bebas dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bahwa kita
berdua tidak akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar merah dan Ken Ken
terkejut, maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi daripada badai asmara
yang memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang sampai terdengar
nyata, Nirahai berkata, “Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini….! Jodoh
takkan dapat kekal kenya didasari cinta berahi saja! Yang penting adalah kesesuaian
faham dan cita-cita! Ahhh, Ken Ken, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu
itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi permintaanku ikut
dengan aku sekarang juga ke utara.”
“Engkau yang tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih mencinta
cita-citamu!”
“Dan engkau, Ken Ken, engkau seperti telah buta. Engkau memang mencintaku,
cinta nafsu, cinta berahi, padahal sesungguhnya engkau mencinta…. Lulu!”
Ken Ken meloncat kaget dan memandang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Apa…. Apa kau bilang….?”
Nirahai tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya.
Ia tertawa akan tetapi menangis, amat mengharukan ketika suaranya yang
gemetar berkata, “Kuketahui setelah terlambat! Baru pada akhir-akhir ini….
Engkau mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari
Lulu. Tanpa kausadari, mulutmu yang menciumi bibirku membisikkan nama Lulu!
Saat itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu!
Akan tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata
Lulu. Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Ken Ken. Mencintamu
dengan sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya terhadapmu jauh lebih murni
daripada cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang
kaukehendaki. Akan tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi
disesalkan, kita telah menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi
karena hal itu akan berarti mengkencurkan kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan
engkau mencintaku. Sungguhpun mungkin cinta kasih di antara kita lebih
disuburkan oleh nafsu berahi karena kita saling mengagumi, namun kita dapat
menikmati cinta kasih kita bersama. Sekarang belum terlambat, marilah kita
pergi ke utara.”
Ken Ken menjadi pucat sekali wajahnya, matanya kehilangan sinarnya. Pukulan
batin yang dideritanya sekali ini terlalu berat baginya. Kenyataan yang dibuka
secara terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui
kebenaran ucapan Nirahai. Betapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan
mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia tergila-gila
kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!
“Nirahai, terima kasih. Engkau hebat dan jujur, aku amat menghargai keterusteranganmu.
Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu. Sudah
semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan menuruti kehendakmu. Akan
tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan
pernikaken adikku, baru kita bicara lagi tentang ke utara.”
Nirahai
membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan sudah habis kesabarannya.
“Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil keputusan! Ken Ken, kita
bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu
dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sendiri karena
hal ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak
dapat diubah-ubah lagi, Ken Ken. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu
sebagai seorang isteri yang mencintannu sampai kematian memisahkan kita. Akan
tetapi, di samping itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan
diriku untuk nusa bangsaku, biarpun dengan cara lain daripada yang
sudah-sudah. Aku kenya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku
bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!”
Sementara itu, biarpun amat berduka, Ken Ken sudah pula berpikir masak-masak,
maka ia menjawab, “Aku pun sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu
dan aku akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan
urusan pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih dulu, kemudian aku akan
mengikutimu ke manapun engkau pergi, akan tetapi aku kenya minta engkau tidak
mencampuri urusan negara yang kenya akan merenggangkan hubungan kita suami
isteri.”
Sejenak sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring.
“Sudah tetapkah keputusan hatimu itu?”
Ken Ken mengangguk tanpa mengalihkan pandang matanya yang bertaut dengan
pandang mata Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.
“Nirahai….!” Ken Ken maju hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai tertawa
seperti itu, dengan muka pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut
tertarik seperti orang menangis, seperti mayat tertawa!
“Jangan dekati!” Nirahai membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak,
“Kalau begitu keputusan kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih cepat
lebih baik. Nah, selamat tinggal, Ken Ken. Engkau kekasihku, engkau suamiku,
akan tetapi juga musuhku! Engkau kucinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah
berkata demikian, puteri jelita itu meloncat dan lari pergi secepat
kilat.“Nirahai….!” Ken Ken menjerit, kenya lirih keluar dari mulut, akan tetapi
amat nyaring keluar dari hatinya yang berdarah. Ia berdiri termenung memandang
sampai bayangan Nirahai lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok
seolah-olah terlampau berat beban yang menimpa punggungnya, bersandar pada
tongkatnya dan diam tak bergerak. Kenya air matanya saja yang jatuh satu-satu
tak dihiraukannya.
“Nirahai…. Nirahai….!” Hatinya menjerit-jerit.
“Nirahai….! Lulu….! Lulu….!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya
membuat ia seolah-olah menjadi batu.
Kalau saja Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan
kembali ke tempat itu, tentu hati wanita ini akan kencur luluh dan mencair melihat
keadaan Ken Ken. Sampai tiga hari tiga malam Ken Ken masih berdiri di tempat
itu, bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk membisikkan
nama Nirahai dan Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambutnya. Rambut yang
gemuk dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah
menjadi putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang
kakek berusia seratus tahun! Selama tiga hari tiga malam ini, terjadi perubaken
hebat pada dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak
ada cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairaken
hidup. Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang
selama tiga hari tiga malam itu Ken Ken kenya memikirkan nasibnya. Hidup
semenjak kecil baginya kenya merupakan serangkaian kesengsaraan yang tidak ada
putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit perasaan.,
TAMAT.