Kamis, 11 Juli 2024

Balasan selingkuh 1

Bag 1

Sungguh aku amat bahagia sekali ketika Mas Dodo mengajakku pindah rumah yang baru dibelinya secara cicilan, namun amat bagus dan sesuai dengan seleraku. Apalagi dari pernikahanku yang memasuki tahun kelima ini kami telah diberi seorang momongan anak perempuan yang cantik dan lucu sekali. Usianya baru menginjak tiga tahun.

Sebelum ini kami menempati rumah kontrakan yang kami sewa secara tahunan. Namun merasa semakin besarnya dan untuk perkembangan pertumbuhan anak kami makanya Mas Dodo mengambil inisiatif untuk mengambilnya juga, meski dengan harga yang cukup mahal menurut aku. Padahal dulunya orangtuaku mengajakku untuk tinggal serumah dengan mereka.

Namun karena inisiatif Mas Dodo yang ingin membentuk kelurga yang mandiri maka sebagai istri aku harus menurut kata suamiku. Kini kami sudah menempati rumah hasil jerih payah kami selama ini, yang meskipun cicilan namun bentuk dan luas bangunan rumah ini amat cukup untuk kami membesarkan anak-anak kelak.

Selain memiliki halaman yang cukup dan garasi yang bisa menampung dua buah mobil kami. Di belakang rumah juga ada pekarangan yang bisa kami gunakan untuk bersantai dan bermain si kecil. Mas Dodo amat tepat memilih lokasi yang masih cukup jauh dari hiruk pikuk kota juga telah memiliki berbagai fasilitas dan akses yang mudah ketempat kami bekerja.

Sengaja hingga saat ini aku tidak mengambil pembantu atau baby sitter, karena aku ingin membesarkan anakku dengan kasih sayangku sendiri dan memberikan perhatian untuk pertumbuhan buah hati kami. Jika aku berangkat kerja,maka anakku aku titipkan kerumah ibu yang letaknya tidak jauh dari kantorku.

Jadi jika istirahat kantor aku bisa melihat anakku. Ibukupun tidak keberatan jika anakku aku tinggal. Beliau amat suka dan sebagai hiburan baginya, karena adikku yang bungsu sering tidak di rumah dan sibuk kuliah. Kini setiap sore, aku selalu menjemput anakku di rumah ibu. Setiba di rumah aku pun beres-beres pekerjaan rumah juga masak seperlunya untuk sarapan kami sekeluarga. Syukurlah suamiku orangnya tidak neko-neko.

Ia amat menikmati saja apa yang aku suguhkan di meja makan. Padahal aku tahu ia amat lapar jika pulang kantor malam hari. Aku selalu membuatkan masakan kesukaannya jika hari Sabtu, dimana kami bisa berkumpul lengkap karena libur kantor. Biasanya kami mengisinya dengan masak-masak, atau terkadang makan diluar atau berkunjung kerumah ibu.

Dan biasanya ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan kami. Selama ini aku rasakan hidupku amat bahagia, memiliki seorang suami yang pengertian dan baik. Dengan rutinitas yang semakin padat juga karena kenaikan jabatan suamiku, maka akhirnya akupun minta mengundurkan diri dari pekerjaan karena buah hatiku amat membutuhkan perhatianku.

Namun pimpinan tempat kerjaku malah meminta aku agar tetap bergabung dengan mereka dan aku diberi kelonggaran dengan kerja paruh waktu, aku diberi kebebasan bisa masuk kantor atau terkadang mereka memberikan aku perintah kerja dengan fasilitas online yang terhubung ke rumah aku. Mereka merasa amat membutuhkan tenagaku. Jadi kini aku seakan lega karena selain bisa terus eksis di pekerjaan aku juga bisa mengawasi perkembangan anakku.

Namun kini kebahagiaan aku agak sedikit terganggu dengan adanya gangguan gangguan kecil di rumahku. Jika di saat aku akan keluar rumah dengan mobilku selalu melewati pos penjagaan yang dijaga seorang satpam perumahan. Aku amat merasa tidak nyaman akan pandangannya yang aku rasa amat kurang ajar itu. Terkadang aku sempat memergoki pandangan matanya ke arah belahan blus kerjaku.

Aku merasa risi dipandangi seperti itu. Aku juga merasa ditelanjangi jika berpapasan dengannya. Sudah sering memang kejadian ini aku alami di pos rumahku ini. Pernah aku ingin bilang pada suamiku, namun aku masih menahannya agar dia tak merasa terganggu. Namun tiap kali aku lewat dan bertemu pandang dengannya dia selalu menatapku seperti menatap secara cabul. Akhirnya aku tak tahan, suatu malam aku bicarakan dengan suamiku.

Cerita Sex – Balasan Perselingkuhan Suamiku
“Pa…papa kenal dengan satpam yang item dan gendut itu pa?” tanyaku.
“Yang mana?” suamiku bertanya balik dan mengingat ingat.
“Itu tuh yang brewokan itu.” kataku menerangkan.

“Ooohhh…abang Saroji, ya itu namanya Abang Saroji” lalu suamiku bertanya “memangnya mama ada urusan apa dengan dia?”
Lalu aku jawab, “Dia koq jika melihat aku tuh seperti mau menelanku mentah mentah lo Pah?”

Sambil tertawa suamiku bilang, “Ah…dia orangnya baik koq.. papa aja sering ditawari kopi jika papa pulang malam. Mungkin dia gak tau kali, jika mama adalah istri papa.” terang suamiku.
“Tapi dia amat kurang ajar lo pah…dari pandangannya itu.” terangku lagi. .

“Yah…mungkin dia jarang lihat orang cantik seperti mama, jadi dia tuh, masih agak kaget.” jawab suamiku sambil membelai rambutku…
“Ah…papa. . jawabku….” agak manyun. .
“Aku takut pah…” jawabku lagi…

“Ya, mungkin aja mama dia lihat agak lain dengan yang lain, misalnya mama jarang senyum atau nyapa dia… Jadi ya dia kayak itu…” terang suamiku lagi. Aku diam mendengar keterangan suamiku. Memang ada benarnya juga kata kata suamiku itu. Selama ini aku jarang bertegur sapa dengan satpam itu. Apalagi mau senyum, memang sih aku akui itu.

Di blok rumahku memang baru ada dua rumah yang terisi, namun jarak rumahku dan rumah yang satu lagi agak jauh. Apalagi penghuninya jarang keluar rumah dan tampaknya rumah itu jarang ditempati pemiliknya yang seorang karyawan swasta di Jakarta, mungkin rumah itu diambilnya hanya untuk investasi saja. Aku jarang melihat penghuninya.

Dan masih menurut suamiku, kami yang tinggal di tempat baru ini harus bisa agak sedikit ramah kepada masyarakat sekeliling sebab pemukiman ini baru saja selesai dan di balik tembok pembatas perumahan ini ada perumahan penduduk setempat. Suamikupun berkata bahwa tenaga-tenaga pembantu di blok blok lain kebanyakan dari penduduk di balik tembok itu termasuk satpamnya.

Akupun akhirnya berusaha merubah sikapku selama ini kepada satpam itu. Suamiku juga pernah dapat informasi dari pihak pengembang, bahwa bang Saroji itu adalah jawara di kampung itu. Dan karena alasan keamanan makanya pihak pengembang merekrutnya jadi tenaga keamanan di kompleks ini. Jadi tidak heran jika di antara sekian banyak tenaga satpam di kompleks itu adalah anak buah bang Saroji…. jelas suamiku.

Makanya suamikupun berusaha berbaik baik dengannya sebab tidak ingin nantinya diganggu oleh mereka.

Hari-hari berikutnya, akupun kembali sibuk seperti biasanya keluar dan masuk kompleks jika ada keperluan. Kini aku sudah berusaha untuk menyapa dan berbaik baik dengan satpam itu. Memang dia juga sudah mulai tidak menakutkan aku lagi jika bertemu di pos.

Namun yang aku masih risi adalah pandangan matanya yang seolah menembus busanaku ini yang membuatku kurang nyaman. padahal aku sudah berpakaian dengan benar dan menurut norma ketimuran. Akupun semakin merasa tak nyaman jika dia yang menjaga di pos itu. Kini aku semakin tersiksa karena suamiku semakin sering dinas keluar kota karena jabatannya bertambah tinggi.

Terkadang mas Dodo keluar kota untuk seminggu atau paling cepat tiga hari. Saat aku di rumah berdua dengan anakku seakan ada yang mengintai. photomemek.com Kadang jika tengah malam terdengar krasak-kusuk di pagar rumahku atau lemparan kerikil di atapnya. Aku sering melihat keluar rumah, namun aneh tak ada seorang yang terlihat. Apalagi aku takutnya karena rumah di sebelahku masih banyak yang kosong.

Ingin rasanya malam itu aku menelpon mas Dodo atau minta pertolongan polisi, namun tidak kulakukan karena takutnya nanti malah ditertawakan karena belum ada bukti bahwa aku mendapat terror. Maka, semua itu aku pendam saja di dada, aku hanya berasumsi positif saja, mungkin itu adalah bunyi musang atau tikus yang berjalan mencari makanan di malam hari. Akhirnya malam itu aku tetidur karena pikiranku mulai capai, untunglah anakku tidak terganggu oleh bunyi-bunyian itu. Ia terlihat amat lelap tidurnya di kamar sebelah.

Pagi-pagi aku bangun dengan perasaan masih ngantuk yang amat sangat karena malam aku tertidur amat larut. Pagi itu suamiku nelpon mengabarkan bahwa ia mungkin pulang agak bergeser harinya, sebab banyak urusan yang belum kelar pada waktunya. Aku mengiyakan saja permintaan suamiku itu, tidak lupa ia juga menanyakan keadaan anak kami.

Akupun kembali larut dengan rutinitasku seperti biasanya. Aku kembali mengantar anakku sebelum masuk kantor. Syukurlah di kantor pekerjaanku tidak terlalu banyak. Aku hanya bertugas memeriksa hasil kerja staffku lalu aku bisa sedikit santai.

Sore seperti biasaya aku pulang dan menjemput anakku ke rumah ibu. Aku sempat istirahat sebentar di rumah ibu dan berbincang dengan beliau. Tak lama kemudian aku pun pulang ke rumahku melalui jalan yang sore itu agak sedikit macet. Syukurlah sampai di rumah tidak terlalu malam ya kira-kira jam 19.00 wib. Aku pun membersihan tubuh anakku dan tubuhku yang terasa penat.


Beberapa hari kemudian suamiku pulang dan membawa sedikit oleh-oleh untuk kami. Aku sangat bahagia karena kini kami berkumpul kembali seperti biasanya. Karena oleh-oleh yang dibawa suamiku tidak sanggup kami habiskan sendiri, ia menyarankan agar makanan itu diberikan saja pada Bang Roji.

Aku sich setuju saja sebab tidak mungkin bagi kami akan menghabiskan makanan itu. Namun suamiku minta aku yang mengantarkannya ke Bang Roji yang sedang berjaga di posnya. Yah…hitung-hitung basa basi pikirku. Akupun keluar rumah dengan mengendarai sebuah sepeda santai menuju ke posnya. Syukurlah malam itu, ia yang sedang jaga. Dengan sapaan lembut aku sapa dia.

“Bang Roji, lagi jaga ya.. bang?” tanyaku.
“Ooh,ibu Risa, ada yang perlu saya bantu?” jawabnya basa basi.
“Eehh…nggak koq Bang…ini…tadi Mas Dodo dari luar kota dan ia titip oleh-oleh ini.” aku menyodorkan bungkusan itu padanya.

“Aduh…koq ngerepotin toh bu.” katanya.
“Ah…. nggak koq bang, ada lebih aja.” jawabku.

Ia pun menerima bungkusan yang kubawa itu walau dengan sedikit rasa sungkan. Aku lalu minta diri untuk pulang. Menjelang pulang ia tak henti hentinya berterima kasih padaku dan juga titip salam buat Mas Dodo. Dalam hati aku tersentuh juga, rupanya dia juga baik tak seperti dugaanku selama ini.

Dia sempat menawariku kopi di posnya sebagai basa basinya padaku. Namun dengan alasan bahwa suamiku menunggu di rumah, aku pun menolaknya dengan halus dan pamit pulang. Aku lega sekali malam itu. Ternyata dia sungguh baik, tidak terlihat sedikitpun kebenciannya padaku juga mata nakalnya yang sering melahap tubuhku ini.

Malam itu aku pun bilang pada suami tentang salam yang dititipi Bang Roji padaku. Suamikupun lalu bilang, berarti aku salah sangka selama ini, mungkin saja tindakanku yang kurang berkenan pada dia selama ini.

“Nah. . kan apa kata Papa” kata suamiku, “semua itu tergantung kitanya Ma. Dia baik koq kalau menurut Papa”.

Habis berkata aku melihat suamiku senyum-senyum sambil menjilati bibirnya sendiri. Nah aku tahu, jika sudah begitu,dia pasti ada maunya. Aku lihat anakku sudah tidur dikamarnya. Dengan sedikit kode mesra dari suamiku, aku pun masuk kamar dan merebahkan tubuh di ranjang peraduan kami. Ia lalu ikut masuk dan menutup pintu kamar. Tidak lama memang, kami sudah dalam keadaan sama sama polos.

Malam itu kami ingin menuntaskan kerinduan yang mulai jarang kami dapatkan, karena kesibukan aku dan juga mas Dodo. Beda sekali jika dibanding saat saat tahun pertama kami menikah dulu. Kinipun paling sering kami melakukannya seminggu sekali. Itupun jika tidak terlalu capai. Terkadang aku yang siap untuk berhubungan namun suamiku tak siap.

Terkadang dia sudah siap namun aku yang lagi capai atau datang bulan. Dan malam ini kami ingin melakukannya lagi. Dengan cara bertahap dia belai dan ciumi setiap inci kulit tubuhku yang putih ini, tanpa terlewat seincipun. Dahagaku malam ini ingin aku tuntaskan bersama mas Dodo suamiku. Kini kami sudah siap siap untuk melakukan penetrasi.

Baru saja suamiku akan memasuki aku, tiba-tiba kami dikejutkan oleh bunyi kresek-kresek di jendela kamar kami. Langsung saja kami menghentikan aktifitas itu. Bergegas aku menutupi ketelanjanganku dengan selimut, suamiku bergegas membenahi celana dalamnya juga mengenakan baju. Ia bergegas melihat ke arah jendela dan membuka jendela ingin melihat apa yang terjadi di luaran.

Aku juga berusaha mengenakan kembali kimono tidurku. Dan menuju jendela tempat suamiku berada. Namun kami tidak melihat adanya aktifitas di luar itu. Semua sunyi senyap, padahal tadi kami tahu ada orang yang sedang mengintip kami. Juga di bawah jendela, ada jejak rumput yang terinjak.

Dengan sedikit emosi,suamiku lalu keluar rumah dan akan melaporkan ke pos jaga satpam. Dia lalu keluar rumah di malam yang gelap itu menuju pos satpam. Aku disuruh tinggal di rumah saja agar bisa menjaga anak kami.

Tidak lama kemudian suamiku pulang dan bilang, ia sudah lapor pada satpam dan dijanjikan akan selalu melakukan patroli. Maklum malam itu yang jaga hanya bang Roji, kata suamiku.

Semenjak kejadian itu, aku semakin yakin bahwa pengintip itu memang ada. Mungkin selama ini kami selalu diintip jika akan berhubungan suami istri. Apalagi jejak rumput yang ada di pekarangan rumah kami menandakan ada seseorang yang memang iseng. Pikiran aku langsung saja tertuju pada bang Roji pelakunya.

Sebab mana mungkin bisa malam itu, orang lain masuk blok rumah kami sedangkan sekeliling di tembok, namun saat dilaporkan suamiku bang Roji beralasan bahwa mungkin saja ada orang dari kampung di balik tembok itu. Lagian ia berjanji akan mencari orang yang menganggu itu. Berbagai pertanyaan kembali berada di kepalaku tentang keterlibatan bang Roji malam malam selama ini.

Apalagi di blok aku tinggal hanya kami yang selalu ada di rumah. Beberapa lama kemudian memang tak ada gangguan lagi termasuk ketika saat suamiku terkadang keluar kota. Aku kini sudah merasa aman dan tak ada lagi yang aku kuatirkan. Begitu juga dengan Satpam yang bernama Saroji itu, ia terlihat sudah mulai akrab dengan aku dan keluargaku, dia sering menyapa dengan ramah.

Melihat aku yang agak kerepotan mengasuh anakku dan mengantar ke rumah ibu, suamiku menyarankan untuk mencari baby sitter. Pernah suamiku ngobrol dengan bang Saroji saat berhenti di pos jaganya. Dalam omong-omong itu, bang Roji menganjurkan agar anak kami di asuh istrinya saja jika kami pergi kerja.

Saat itu aku kurang respek terhadap anjuran suamiku, sebab aku masih belum bias menerima orang seperti keluarga bang Saroji itu. Namun lama kelamaan aku semakin kerepotan juga. Lalu aku minta agar istri bang Roji yang bernama mpok Esih agar mau menjaga anakku di rumahku. Apalagi dia juga bisa bantu aku nyuci pakaian kami. Dan kini mpok Esih sudah bekerja di rumahku meski hanya setengah hari.

Terkadang anakku dibawanya ke rumahnya di balik tembok kompleks ini. Kini aku sudah merasa agak tenang dan tak kerepotan lagi. Apalagi suamiku sering berada di luar kota. Bagiku mengenai gaji mpok Esih tidaklah masalah, yang penting aku merasa nyaman meninggalkan anakku padanya.

Begitu juga Mpok Esih tidaklah terlalu cerewet orangnya. Ia cenderung amat penurut. Dia tampaknya amat takut dan patuh pada suaminya Bang Roji. Dan selama ini aku lihat dia amat senang kerja setengah hari di rumahku.

Suatu hari di saat aku libur kerja, aku sempat nanya nanya padanya. Rupanya dia adalah istri tua bang Roji. Aku heran juga, kenapa orang seperti bang Roji bisa punya istri dua. Apakah tidak repot menafkahi kedua istrinya. Lalu Mpok Esih, bilang bahwa ia memang amat kesulitan dalam keuangan, dimana anaknya yang dua orang itu harus sekolah, dan gaji suaminya yang harus di bagi dua kepada istrinya itu.

Akupun bertanya kenapa dia mau dimadu. Dengan sedikit sedih dijawabnya bahwa sudah gak mungkin karena anak-anaknya butuh bapak, apa jadinya nanti anak-anaknya jika tak memiliki bapak yang akan menafkahinya. Apalagi Mpok Esih tidak memiliki keahlian yang bisa diandalkan untuk mencari nafkah.

Lalu beliau becerita tentang asal mulanya dia terpikat pada Bang Roji yang dulunya adalah seorang preman kampung lalu menuntut ilmu dan jadi jawara. Padahal dulunya Esih sudah dilamar oleh anak juragan sapi asal kampung tetangga. Dan saat itu, dia malah terpikat oleh sosok Saroji yang jawara kampung itu.

Dan jika dilihat dari sosok wajah dan perangainya ia tak ada apa apanya dibanding anak juragan sapi itu. Apalagi anak juragan sapi itu sekarang sudah jadi orang yang kaya di kampungnya. Dengan sedikit sedih mpok Esih berbincang panjang lebar tentang latar belakang suaminya yang kelam itu. Begitu juga dengan istrinya yang sekarang.

Bang Roji mendapatkan istri mudanya, di saat istri mudanya itu dulu kuliah kerja nyata di kampungnya. Istri muda bang Roji memang masih muda dan menurut mpok Esih masih seusiaku, namanya Indri, dulunya dia kuliah di sebuah universitas swasta dan melakukan kuliah kerja nyata di kampung itu.

Nah bang Roji amat kepincut dengan gadis kota yang cantik itu. Entah bagaimana caranya kata Mpok Esih, Indri malah mau saja dikawini Bang Roji yang terpaut usia 20 tahun darinya itu. Kini bang Roji sudah berumur 49 tahun kata mpok Esih.

Masih menurut Mpok Esih, dulunya sempat ribut-ribut dengan orang tua Indri yang tidak setuju atas perkawinan Bang Roji dan anaknya itu. Namun karena saat itu Indri sudah keburu mengandung akhirnya mereka tidak dapat berbuat apa apa. Dan kini dari Istri keduanya bang Roji mendapatkan seorang anak yang berusia 10 tahun.

Makanya sekarang bang Roji agak kerepotan memenuhi kebutuhan hidup kedua istri dan tiga orang anaknya itu. Kalau dulu dia cukup banyak uang, karena dari parkir dan kutipan pedagang kaki lima di pasar dia mendapatkan uang jago. Namun sekarang sudah tak bisa lagi karena sudah diambil alih pemerintah. Aku cukup terenyuh mendengarkan keterangan mpok Esih itu.

Aku pun kini selalu memberinya uang agak berlebih agar dia bisa kubantu semampuku. Sebab aku merasa dia amat bisa diandalkan untuk membantu aku. Kini kehidupan akupun berlanjut seperti biasa, namun kini gangguan di malam hari kembali mulai hadir. Aku merasa ada sepasang mata yang sedang mengintipku saat tidur di kamarku. Namun aku tidak terlalu takut sebab, aku tahu itu hanyalah orang iseng dan tak bermoral. Selain itu atap rumahku sering dilempar kerikil.

Aku pun tetap mengacuhkannya. Aku juga tidak melaporkannya pada suamiku. Dan kini aku kembali merasakan bahwa yang menganggu aku itu adalah orang yang sama yaitu satpam Saroji. Aku heran kenapa dia masih saja melakukan hal yang demikian padahal aku sudah berbaik baik pada istrinya. Aku tidak mau terlalu memikirkannya, tidak adil rasanya jika aku ikut melibatkan istrinya yang sudah amat susah karena perbuatan Bang Saroji.

Aku yakin saja itu perbuatan Satpam Saroji, sebab di balik sikap baiknya itu tersimpan maksud yang aku tidak tahu. Aku merasakan juga dia sering mencuri curi pandang padaku di saat dia membuka portal gerbang blok rumahku. Dan sampai sekarang aku tidak punya bukti tentang perbuatannya itu. Aku hanya merasa dari bisikan naluri kewanitaanku saja, bahwa orang ini tidak baik, itu saja.

Dan aku pun bersama suami pun kembali seperti biasanya. Suamiku pun pulang dari luar pulau dan kami pun melakukan refreshing. Kami pun pulang ke rumah malamnya dan malam itu kami melakukan hak dan kewajiban sebagai suami istri lagi. Di saat kami berhubungan itu, aku merasakan ada yang mengintai kami, namun untunglah suamiku telah mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur yang cahayanya cukup temaram.


Jadi orang di luar jika bisa ngintip ya tidak bisa menikmati seperti yang kami rasakan. Masih dalam keadaan bersenggama, suamiku membisikku, “Ma…ada yang ngintip.” katanya. Rupanya bukan aku saja yang merasakan suamiku pun tahu.

“Pasti orang itu akan pusing deh.” kata suamiku sambil memaju mundurkan kemaluannya di liangku.
Kamipun lalu tersenyum berbarengan dengan datangnya orgasme kami yang bersamaan. Setelah berhubungan malam itu, kami menutupi tubuh telanjang kami dengan selimut dan tidur hingga paginya.

Selama suamiku berada di sisiku, kami mulai mengacuhkan tindakan iseng orang yang melakukan pengintipan itu. Bahkan kini malah aku sepertinya sudah bisa melupakan semua itu meski di hati kecilku masih merasa kurang nyaman. Aku semakin yakin orang itu adalah bang Roji sebab dari caranya memandang aku aja sudah dapat kuterka, apalagi sering melirik bagian bagian sensitif di tubuhku jika ketemu.

Di depan aku aja dia bersikap ramah dan sopan, dia seperti musang yang berbulu domba yang siap untuk memangsa jika lengah. Lagian kini aku punya teman bicara jika di rumah yaitu istri tuanya bang Saroji dan bisa mengorek keterangan tentang latar belakangnya secara detail.

Memang pernah istrinya bilang bahwa bang Saroji itu memiliki suatu nafsu yang besar dan dia juga pernah melakukan hubungan seks dengan wanita lain selain istri-istrinya namun mpok Esih tak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya. Ia tidak berdaya jika bang Roji selalu mengancamnya untuk menceraikannya jika terlalu ikut campur. Aku yang mendengar penuturan mpok Esih itu semakin trenyuh melihat penderitaan dan tekanan bathin menjadi istri bang Roji yang tidak punya malu itu.

Kini aku menjalani kehidupan secara normal dan amat bahagia bersama suami dan putri semata wayangku yang kini berusia tiga tahun ini. Memang aku rasakan kini kami sudah tidak lagi rutin melakukan kebersamaan di tempat tidur bersama suamiku.

Aku maklum saja karena Mas Dodo sering keluar kota dan aku disibukkan dengan berbagai tetek bengek pekerjaan kantor, juga rumah tangga yang membuatku seakan lupa akan hak dan kewajibanku. Kini kami hanya melakukan hubungan badan hanya dua kali sebulan kadang sekali saja. Memang kuakui terkadang di malam-malam tertentu aku amat membutuhkan belaian dan sentuhan seorang suami kepadaku.

Namun aku memendamnya sebab suamiku bekerja keras dan membanting tulang untuk kami juga nantinya. Makanya aku sampai saat ini masih tetap menjalani malam-malam yang sepi tanpa suamiku. Hingga pada saat suamiku pulang, kami pun melakukan hubungan badan untuk melepas rindu kami berdua.

Malam itu kami melakukannya beberapa kali hingga aku pun merasakan kepuasan yang amat membuatku lelah dan capai. Begitupun dengan suamiku, dia langsung tertidur dengan nyenyak sekali hingga ia tak menyadari adanya sebuah sms ke handponenya. Aku yang saat itu belum tertidur dan masih meresapi kenikmatan yang baru aku alami bersama suamiku meraih HP-nya.

Aku tak sampai hati membangunkan suamiku. Iseng saja aku buka sms itu, dan…. aku amat terperanjat dengan kata kata dalam pesan singkat itu. Pesan itu dari seorang wanita yang dari kata-katanya amat membuat bulu kudukku berdiri. Kalimat dalam sms itu mengatakan bahwa dia, wanita itu amat menikmati hubungan terlarang bersama suamiku selama ini dan ingin mengulanginya lagi jika suamiku ke kotanya.

Bagaikan petir di siang hari yang menghantam kepalaku, aku kaget sekali membacanya. Tidak aku duga sama sekali jika selama ini suamiku telah menyeleweng dariku. Ia memiliki wanita lain di kota lain. Pantas saja selama ini ia tidak begitu acuh terhadapku dan seakan tidak membutuhkan diri aku dalam hubungan biologis. Aku memandang tubuh suamiku itu yang masih tertidur dengan nyenyaknya.

Aku amat bersedih hati, di saat malam-malam aku menahan gejolak sebagai seorang wanita dan merindukan belaian suami, namun di tempat lain suamiku malah main gila dengan wanita lain, rasa marah bersiliweran di dadaku malam itu. Namun sebagai wanita dewasa dan berpendidikan, aku tidak akan melakukan hal yang bikin ribut dan pertengkaran.

Paginya di saat sarapan, kulihat suamiku terlihat amat gembira seakan tak terjadi suatu apapun jua. Baru setelah sarapan pagi itu, aku minta waktu suamiku untuk membicarakan sms yang aku baca tadi malam. Pagi itu dengan menumpang mobil suamiku, aku pun menuju tempat yang kami anggap sebagai tempat yang bagus untuk membicarakannya. Tempat yang kami pilih merupakan sebuah taman kota yang aku rasa cukup privasi bagi kami berdua, sebelumnya aku telah menitipkan anakku ke mpok Esih.

Dengan kekakuan yang aku perlihatkan saat itu, membuat suamiku menjadi bingung. Ia menduga-duga apa yang akan aku bicarakan bersamanya saat itu. Apalagi aku memilih tempat di taman kota ini untuk bicara empat mata padahal kata suamiku di rumah saja kan bisa. Aku lalu dengan perlahan bilang tentang sms tadi malam. Suamiku sempat bingung dan dengan kaget ia mencari Hpnya dan membuka sms di hpnya.

Ia kaget sekali melihat ada sms dari wanita itu. Dengan muka merah dan menahan rasa malu yang amat sangat ia minta maaf dan mengakui bahwa ia telah melakukan kekhilafan di luar kota. Dengan memohon mohon ia minta agar aku mau memaafkannya. Ia pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tentu saja tidak begitu saja percaya akan keterangannya itu.

Aku hanya memikirkan nasip putri kami satu satunya. Apalagi dia akan kehilangan keutuhan keluarganya. Hatiku amat hancur mendengar pengakuan suamiku itu. Dengan berbagai alasan dia bilang bahwa ia juga merasa dijebak oleh rekan bisnisnya di daerah.

Dengan memberinya sedikit ultimatum agar menjauhi perbuatannya itu, akhirnya dengan hati yang tidak karuan aku kembali menerima suamiku. Namun aku tidak sepenuhnya percaya padanya, ibarat gelas yang retak amat sulit rasanya untuk menerimanya kembali utuh. Perlu waktu untuk mengembalikan proses kembali sedia kala.

Kini aku kembali kepada kehidupanku. Aku tetap melayani suamiku seperti biasanya, namun jika sudah membayangkan saat dia bersetubuh denganku bayangan akan perbuatannya dengan wanita lain itu kembali muncul hingga membuatku hilang gairah dan padam. Kini aku hanya melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kepada suami, ibarat kata hanya tubuhku saja yang dinikmatinya, bukan lagi hatiku.

Aku seakan mati rasa, bayangan perselingkuhan suamiku membayangiku meski aku tidak melihatnya secara langsung. Keadaan rumah tanggaku semakin kacau semenjak kejadian suamiku itu. Suamiku pun tetap beraktifitas dan sering keluar kota namun kini keadaan semakin gak karuan.

Tampaknya wanita itu memang tidak memiliki rasa, sebab pernah aku telpon dan bilang padanya bahwa suamiku telah memiliki keluarga juga anak. Tampak dia tidak peduli dengan keadaan kami. Aku tidak kuasa mengambil keputusan, dengan berbagai pertimbangan dan mengingat masa depan anakku kelak.

Kini akupun sudah tak peduli lagi dengan suamiku. Yang jadi prioritas bagiku adalah bagaimana membesarkan anakku ini kelak, jika kemungkinan terburuk yaitu perceraian terjadi. Aku hanya saja sedih karena awalnya keluargaku amat bahagia dan saling sayang. Berbagai bayangan buruk berkecamuk di pikiranku. Apa nanti kata keluarga besarku jika aku bercerai dengan suamiku ini.

Tentunya aku yang akan mereka salahkan karena mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jujur saja bagiku tidaklah sulit mencari pengganti mas Dodo, apalagi aku juga punya pekerjaan juga usia yang masih muda dan masih cukup mampu menarik hati lawan jenis. Berpikir demikian aku tak sampai hati jika nantinya anakku akan memiliki ayah tiri. Aku semakin sedih memikirkannya.

Suamiku masih tetap seperti biasanya pulang dan tidur di rumahku. Kini keadaan seperti api dalam sekam dan tak mudah dipadamkan. Sampai saat ini aku masih melaksanakan kewajibanku sebagi istri kepada suamiku. Malam itu suamiku mencumbuiku, namun aku amat susah untuk mengikuti alunan gairah yang ia pancarkan. Tidak seperti dulunya aku merasakan kenikmatan di saat berduaan dengannya.

Namun aku paksakan diriku menerima perlakuannya ini. Hingga aku mendengar kehebohan yang cukup membuat kami menghentikan aktifitas ranjang ini. Suara kehebohan itu berada di halaman rumahku. Dengan mengenakan pakaian tidur kembali, aku dan suamiku buru buru keluar rumah. Di halaman sudah ada dua orang satpam yang menangkap basah seorang pemuda di dalam halaman rumahku.

Rupanya malam itu rumahku akan disatroni maling, namun berhasil digagalkan satpam. Dan satpam yang menangkap basah maling itu kebetulan bang Roji. Dengan wajah babak belur si maling itu digebukin hingga bonyok. Suamiku lalu mengikuti satpam yang membawa maling itu ke pos jaga.

Rupanya maling itu adalah pemuda dari kampung sebelah dan selama ini penghuni kompleks sering kemalingan karena ulahnya. Malam itu juga malingnya di serahkan ke polisi. Aku sedikit lega, berarti yang mengintip dan melakukan terror di rumahku adalah maling itu.

Aku pun kini semakin akrab dengan Mpok Esih jika sebelum berangkat dia sudah ada di rumahku. Jika aku libur ke kantor, kami sering ngobrol-ngobrol mengenai rumah tangga. Aku harus belajar banyak dari dia karena bagimanapun dia lebih tua dan lebih pengalaman dari aku. Begitu juga, kini aku tidak berprasangka lagi pada suami mpok Esih yaitu bang Roji.

Bang Roji pun kini sering membantuku ngangkatin barang dari mobilku jika aku pulang dari mal membawa belanja keperluan sehari hari. Aku pun sering memberinya sekedar uang rokok kadang juga aku titipin ke mpok Esih karena bang Roji sering menolak pemberianku. Suatu hari Mpok Esih, bicara padaku bahwa, ia ingin meminjam uang untuk Dp membeli sepeda motor.

BERSAMBUNG.