Bag 2
Mpok Esih berjanji akan mengembalikannya dengan angsuran gajinya. Dengan niat untuk membantunya aku pinjami dia uang. Rupanya dia membeli motor dengan cara kredit karena setelah dinas bang Saroji bisa mengojek katanya. Masih menurut Mpok Esih suaminya agak malu jika langsung bicara padaku atau suamiku sebab keluargaku telah banyak membantunya.
Karena hubungan baikku dan keluarga Mpok Esih terjalin aku agak bisa melupakan kemelut keluargaku. Aku kini sudah bisa menganggap mereka adalah saudaraku karena tidak jarang aku minta bantuan kepada mereka jika aku ada masalah yang tak bisa kuselesaikan, misalnya ada kabel yang putus atau kadang aliran pompa yang rusak.
Di suatu malam saat suamiku sedang keluar kota, hujan turun dengan derasnya dan mobilku sempat menerobos genangan air itu. Beberapa saat menuju jalan ke rumahku, mendadak mobilku mogok. Aku kelabakan dan bingung mau menghubungi siapa malam itu apalagi malam itu di sekitar jalan itu hanya ada satu dua mobil yang lewat. Tiba tiba aku dapat ide dan aku lalu menelpon ke rumah karena ada mpok Esih.
Untunglah dia masih di rumahku baru menidurkan anakku. Aku minta bantuannya
agar memanggil suaminya untuk menjemputku tidak jauh dari kawasan perumahan
ini. Mpok Esih menyanggupinya. Beberapa menit kemudian Bang Roji datang dengan
sepeda motornya dengan mengenakan mantel hujan. Aku yang masih berdiam dalam
mobil bilang, mobilku mogok kena air dan mungkin mesinnya terganggu. Lalu bang
Roji berusaha membantuku dengan mendorong mobilku.
Naas mobilku tak mau hidup padahal sudah didorongnya agak jauh. Lalu bang Roji bilang padaku agar mobilku ditumpangi saja dulu di warung dekat situ. Sedang aku diantar sampai rumah malam itu karena hujan amat deras. Malam itu terpaksa menumpang dibonceng bang Saroji dengan sepeda motornya hujan-hujanan dan memakai mantel hujan yang agak besar hingga tubuhku bisa terhindar dari siraman air hujan.
Mau tak mau aku duduk terpaksa seperti laki laki sebab mana mungkin bisa duduk nyamping pake mantel seperti itu. Aku tak mempedulikannya lagi yang penting malam itu aku harus sampai rumah, walaupun saat itu aku duduknya merapat ke punggung bang Roji.
Aku yakin dia tak terlalu merasakan pergeseran antara dadaku dan punggungnya apalagi yang aku tahu ia serius memperhatikan jalanan yang masih tergenang air. Beberapa saat kemudian aku sampai di rumah dan dengan berlari aku masuk rumah. Busanaku saat itu basah sekali, aku langsung ke kamar mandi sementara mpok Esih yang masih berada di rumahku menemui suaminya dan memberikan handuk kecil untuk mengelap tubuh suaminya itu.
Sejak itu hubungan keluarga kami semakin erat, tidak jarang aku mengajak Mpok Esih dan bang Roji untuk jalan-jalan ke luar kota, mereka juga membawa seorang anaknya yang sering bermain dengan anakku. Saat itu aku membawanya ke pantai Anyer yang cukup indah. Setiba di pantai itu, aku menyewa dua buah bungalow untik kami. Keluarga bang Roji dan aku bersama anakku.
Mereka amat senang sekali aku ajak, bagi mereka entah kapan bisa bertamasya ke pantai. Di bibir pantai itu aku perhatikan mereka amat bahagia sekali berlarian bertiga dengan anaknya. Namun anakku minta ikut juga dengan mereka. Dan dengan senang hati, anakku berlarian di pinggir pantai dengan mereka.
Dari jauh aku perhatikan kegembiraan itu, dan jauh di lubuk hatiku ada rasa sedih, sebab di saat saat libur ini seharusnya anakku mendapat perhatian dari ayah kandungnya. Namun kini ayahnya sibuk dan di hari libur itu tak ada memberi kabar.
Aku tahu dia kembali jatuh ke pelukan wanita itu. Hati kecilku berkata demikian. Syukurlah kini aku tak lagi mempedulikan suamiku itu, yang ada dalam hatiku adalah gimana membuat buah hatiku bahagia. Hingga hari kedua pun kami akhirnya pulang dengan terpancarnya rona bahagia di wajah keluarga Bang Roji.
Dan hari demi hari berlalu, sebagai seorang wanita dewasa tak bisa kupungkiri aku membutuhkan seorang laki laki di kehidupanku apalagi di malam-malam saat masa suburku ini. Aku seakan melupakan segala kesalahan suamiku. Aku ingin mereguk kenikmatan ragawi bersamanya.
Di saat suamiku berada di rumah, aku sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan kewajibanku itu, namun heran kini malah saat bersama suami tiba-tiba saja gairahku yang sudah naik jadi hambar dan hilang. Aku berusaha untuk membangunkan kembali keinginanku itu namun tetap hilang tanpa bekas.
Kini yang ada di dalam diriku adalah rasa benci yang amat sangat kepada suamiku dan tanpa aku duga juga, suamiku pun mulai berkata kasar padaku. Aku terperanjat dan amat kecewa, selama kami menikah belum pernah rasanya suamiku berkata kasar seperti itu. Kejadian ini semakin sering terjadi di dalam kehidupan kamar kami. Kamipun lalu larut dengan kesibukan masing-masing dan seolah hidup dalam bara yang siap meledak.
Aku amat kasihan pada buah hatiku, sebab kini ia seakan kehilangan sosok seorang ayah. Padahal dalam usianya saat ini, ia amat membutuhkannya. Tak heran kadang ia ingin ikut ke rumah Mpok Esih untuk tidur di rumah mpok Esih. Apalagi di sana ada anak Mpok Esih yang sering mengajakknya main. Juga ia semakin akrab dengan Bang Roji. Ia terlihat dekat sekali dengan Bang Roji yang ia sebut dengan Pak De.
Begitu juga Bang Roji juga senang dengan putriku itu. Sering putriku di bawa jalan-jalan dulu saat ia menjemput Mpok Esih. Kadang ia menangis jika Mpok Esih dan Bang Roji akan pulang. Maka terpaksalah mpok Esih merayunya dulu hingga tidur lalu baru pulang. Begitu juga putriku sering minta bang Roji untuk, datang kerumah di siang hari. Ia amat terhibur dengan cara Bang Roji menghiburnya.
Aku juga mengkhawatirkan itu. Sebab sosok ayah pada dirinya akan hilang. Aku tak ingin putriku kehilangan sosok ayahnya, bagaimanapun masalah sedang membelit kami. Hingga terjadilah peristiwa yang membuatku semakin kacau dan bingung. Putriku dengan kemanjaannya selalu minta ditidurkan oleh Pak De Roji. Aku tak bisa melarangnya sebab jika tak dituruti maka dia akan terus menangis malam harinya.
Pernah aku tak mengabulkan permintaanya itu akibatnya aku yang malah kerepotan. Akhirnya aku membiarkan Bang Roji yang menidurkan putriku di kamarnya. Sedang Mpok Esih sudah pulang duluan sebab tugasnya hari itu sudah habis. Tidak jarang aku memanggilkan Bang Roji ke Pos jaganya untuk menidurkan putriku.
Putriku juga sudah tak lagi terpengaruh jika ayahnya ada di rumah. Tampaknya ayahnya juga tak lagi memperhatikannya. Kini ia merasa lebih diperhatikan Bang Roji yang biasa di panggil Pak De Roji. Dan permintaan putriku itu sering membuatku pusing. Di saat suamiku ke luar kota, putriku minta bang Roji untuk bobo di kamarnya. Permintaannya membuatku heran.
Dengan berbagai alasan aku bilang saja Pak De sedang kerja dan tak bisa menemaninya, tapi dia tetap tak percaya. dan malah malam hari itu aku terpaksa membawanya ke pos jaga sekedar membuktikan perkataanku. Barulah ia mau pulang setelah dibujuk Bang Roji. Kini Bang Roji jika tak bertugas maka ia pasti tidur di rumahku. Demi anakku permintaannya itu aku penuhi saja.
Untunglah istri Bang Roji mau mengerti akan tugas suaminya itu. Aku merasa asing jika malam-malam ada orang lain yang tidur di rumahku. Apapun alasannya itu adalah salah apalagi suamiku tak berada di rumah. Setiap malam hari aku selalu mengunci pintu kamarku, namun aku tetap kuatir akan terjadinya sesuatu di luar nalarku.
Keakraban putriku dengan Bang Roji semakin mengkhawatirkanku. Putriku malah minta agar aku juga ikut menidurkannya di kamarnya dengan mengikut sertakan pak De Rojinya. Aku tentu terkaget kaget atas permintaannya. Dengan berbagai alasan aku bilang bahwa itu gak mungkin apalagi tempat tidurnya sempit, aku memberi alasan apa jadinya jika ayahnya tahu aku tidur di ranjang anakku bersama bang Roji.
Putriku tetap dengan permintaanya. bagiku ini adalah dilemma, apa jadinya jika aku tidur seranjang dengan anak dan orang lain yang bukan apa-apaku. Aku tahu, lama-lama aku bisa saja terjebak ke dalam jurang nista. Lalu aku bicara pada bang Roji, bahwa jika putriku sudah tidur ia akan keluar kamar atau keluar rumah, sebab aku tak enak dan tak wajar dilihat orang lain.
Apalagi jika suamiku tahu kejadian ini. Bang Rojipun menyetujuinya. Setelah anakku tertidur ia pun lantas keluar kamar. Kadang ia langsung ke rumah istrinya, ya aku maklumi ia akan menggilir istri-istrinya. Terkadang aku yang keluar kamar jika anakku ditidurkan bang Roji dan setelah bang Roji keluar kamar barulah aku masuk.
Namun lama kelamaan kejadian ini semakin biasa terjadi, tak jarang bang Roji langsung tidur di rumahku dan subuhnya baru ia pulang. Namun malam itu, aku amat lelah sekali, hingga aku tak sadar bahwa bang Roji juga tidur di kamar anakku dan dengan berdempet-dempet karena sempitnya. Tubuh kami hanya di batasi oleh tubuh putriku. Namun karena kelalaianku juga aku tak sadar kadang tanganku bersentuhan dengan tangannya di saat anakku posisinya mulai tak beraturan.
Malam itu, aku tak sadar bahwa aku telah tidur seranjang dengan orang lain. Aku tak sadar entah kapan putriku pindah tidur arah bawah kasur yang cukup sempit itu. Kini di atas ranjang hanya aku dan bang Roji juga putriku dibagian kakiku. Aku seakan tak menyadari bahwa kaki bang Roji sudah menempel di betisku dan menggesek-gesekkan jari kakinya.
Aku merasa geli yang amat sangat dan malah menyambutnya, namun aku terbangun dan langsung duduk. Aku lalu memandang bang Roji, sepertinya ia pura pura tidur. Tak lama kemudian ia bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Dengan kaget aku baru mengetahui bahwa anakku sudah berada di lantai. Aku lalu membangunkannya dan mengendongnya ke atas ranjang.
Dengan sedikit mimik ketus aku minta bang Roji keluar kamar. Ia lalu keluar kamar. Aku lalu mengunci pintu kamar dari dalam. Mataku tak mau tidur memikirkan kejadian tadi. Untunglah tadi aku terbangun jika tidak entah apa yang akan terjadi malam itu. Semalaman aku memikirkan kejadian tadi kemudian rasa takut mendera aku.
Kini hampir tiap dua malam sekali Bang Roji selalu ada di rumahku. Ia hanya tak di rumahku jika suamiku ada di rumah. Anehnya putriku tidak minta agar bang Roji tidur di rumah jika ayahnya ada. Aku pun semakin memperhatikan pakaianku jika ia berada di kamarku. Tidak jarang aku selalu memakai pakaian hingga dua lapis, berjaga jaga terhadap segala kemungkinan.
Dan kini di atas ranjangku Bang Roji kembali menidurkan putriku. Setelah putriku tidur barulah dia keluar kamar dan rumah dan bertugas. Aku heran kini aku tak lagi menaruh rasa marah atau kuatir pada sosok Bang Roji. Padahal awalnya aku amat takut terhadap cara dia memandang tubuhku. Herannya lagi, kini aku malah semakin kagum kepadanya.
Aku merasa dia tidak akan bertindak aneh-aneh padaku. Apalagi di kamar ini hanya ada aku dan dia juga putriku. Jika ia bajingan bisa saja aku di paksanya untuk melakukan hal yang lebih tercela lagi, namun tidak ia lakukan. Aku heran atas sikapku ini.
Apakah ini sebagai perwujudan rasa kesepianku selama ini, aku tak tahu. Jujur saja di kantor aku sering diajak rekan rekan pria untuk makan malam atau kadang ngajak nonton. Namun aku tak menghiraukan ajakan mereka sebab aku tak mau menambah beban masalahku yang sudah rumit ini.
Kehidupan pernikahan aku dan Mas Dodo pun semakin tak karuan. Jangankan nafkah sebagai tanggung jawab suami pada istri, nafkah bathin saja dia sudah jarang dia beri. Mungkin ia telah terperdaya wanita simpanannya di daerah itu. Aku semakin ditelantarkan. Aku semakin membencinya jika sudah berada dan tidur di kamar. Anaknya saja sudah jarang digendong juga disayang-sayang apalagi aku.
Aku kasihan sama putriku satu-satunya ini. Ia kini hanya mencurahkan rasa memiliki ayah kepada Pak De Roji yang biasa membawanya jalan-jalan. Putriku amat membutuhkan figur ayah dimana ia bisa berlindung dan dimanja yang semuanya tidak didapatkannya dari ayah kandungnya. Aku amat kuatir dengan perkembangan putriku ini.
Kekuatiranku amat beralasan sebab dia semakin mau mengikuti kemana Bang Roji pergi dan selalu nangis minta ikut hingga Mpok Esih pun kelabakan jika kemauannya tak dituruti. Putriku selalu baru mau diam jika digendong bang Roji beberapa saat. Pernah suatu hari aku akan ke rumah orangtuaku dan membawa putriku. Di gerbang pos jaga, bang Roji sedang tugas.
Putriku nangis minta berhenti dan ingin digendong beberapa saat oleh Bang Roji. Terpaksalah aku menuruti keingannya ini. Aku menghentikan mobil tak jauh dari pos jaga. Bang Roji keluar posnya dan berjalan menuju mobilku. Aku membuka pintu samping dan putriku langsung menghambur ke pelukan bang Roji.
Tak lama memang lalu aku ambil putriku dari gendongan Bang Roji yang saat itu siap-siap akan memberikannya ke pangkuanku. Di saat aku menyambut tubuh putriku itu secara tak sengaja tangan bang Roji bersentuhan dengan buah dadaku beberapa saat.
Aku merasa sedikit jengah saat itu sehingga dengan buru buru aku tarik tubuh putriku dari pelukan bang Roji. Sempat ia minta maaf atas ketidaksengajaannya tadi. Aku hanya diam saja sambil berlalu dan terima kasih karena gendongannya pada putriku saat itu. Aku lalu masuk mobil dan berlalu .
Selama perjalanan aku masih terbayang kejadian barusan. Aku merasa malu saat disentuh tadi. Tangan kasar bang Roji seakan mampu merasakan kelembutan payudaraku. Syukurlah kejadian itu tak diketahui orang lain karena tidak ada siapa-siapa di samping mobilku yang parkir. Hari itu aku di rumah ibu tak lama karena akan berbelanja kebutuhan dapur ke mall dan lalu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku dibantu bang Roji menurunkan dan membawa barang bawaanku dari bagasi mobil. Ini adalah kebiasaannya membantu aku, sedangkan Mpok Esih tak masuk hari ini karena ia pulang ke kampungnya di Kuningan sana. Jadi terpaksa rumah aku kunci saja selama aku pergi. Sore itu Bang Roji baru selesai aplusan dengan rekannya dan seperti biasanya ia ada waktu untuk membawa putriku jalan-jalan keluar komplek.
Aku pun sibuk memasak makanan untuk malam di dapur. Aku agak senang karena putriku sudah dibawa bang Roji jalan-jalan, sebab akhir-akhir ini ia agak rewel. Setelah selesai masak dan aku mandi dan bersih bersih rumah. Akhir minggu ini aku gak ada acara keluar. Namun akhir minggu ini suamiku masih di luar kota dan juga tak ada beritanya. Lalu tiba-tiba terdengar suara putriku dan Bang Roji memasuki rumahku.
Mereka tertawa sambil membawa boneka kesukaan putriku. Setelah mengantar putriku ke rumah, bang Roji minta diri sebab ia akan pulang dan mandi katanya. Namun Putriku tetap tak mau lepas dari gendongannya walau dengan berbagai alasan Bang Roji juga berusaha melepaskan putriku. Akhirnya dia malah nangis dan akupun minta Bang Roji untuk menuruti kemauannya saja.
“Bang, mandi aja disini ya” kataku
“kasihan Suci gak mau diam jika abang pergi.”
Akhirnya terpaksalah Bang Roji mandi di rumahku setelah aku sediakan handuk
cadangan dan juga peralatan mandi yang selalu kusediakan. Malah Suci, anakku,
minta bang Roji malam itu tidur di rumahku. Aku hanya diam saja tak bisa
melarangnya lagi.
Malam itu, Bang Roji pun menidurkan putriku di kamarnya. Setelah putriku tidur barulah dia ingin pulang sebentar untuk memberikan uang dapur pada istri mudanya. Aku sempat bilang padanya agar malamnya ia balik lagi sebab aku kuatir jika nanti putriku bangun ia akan menanyakannya dan jika tak ketemu maka ia akan nangis lagi kataku.
Bang Roji akhirnya menyetujui permintaanku itu dan berjanji akan segera balik secepatnya. Beberapa jam kemudian cuaca berubah hujan deras diiringi angin yang amat kencang. Sempat jendelaku di hempas angin hingga aku tutup dan kunci dari dalam. Tak lama kemudian Bang Roji datang namun tidak dengan sepeda motornya. Ia sengaja memenuhi janjinya agar putriku tak rewel lagi.
Dengan memakai mantel hujan ia buka pagarku yang memang tak di kunci. Lalu ia kuncikan dari dalam. Sampai di pintu depan ia buka mantel hujannya dan membunyikan bel rumahku. Aku tahu itu bang Roji lalu membuka pintu dan lalu memberinya handuk karena percikan hujan membuatnya tubuhnya basah. Aku mencarikan pakaian bekas suamiku yang tidak terpakai lagi untuk mengganti bajunya yang basah itu, lalu memberikan kepadanya. Di kamar mandi ia ganti bajunya dengan kaos yang kuberikan itu.
Tak lama kemudian ia keluar kamar mandi dengan mengenakan celana pendek yang
telah ia sediakan. Bang Roji, bertanya padaku, bagaimana Suci putriku apa
bangun tadinya, kujawab saja putriku sangat nyenyak tidurnya. Mungkin sudah
capai saat dibawa keliling sore tadi jelasku. Dia membuka pintu kamar putriku
dan seolah itu anak kandungnya ia ciumi pipi putriku dengan penuh kasih sayang.
Aku terenyuh melihatnya, ayah kandungnya saja sudah tak pernah menciumi putrinya. Aku kagum dan salut akan perhatian Bang Roji pada putri semata wayangku ini padahal kami bukanlah siapa siapanya namun perhatiannya pada keluargaku membuatku semakin kagum dan menilainya amat baik.
Malam itupun dia berjalan ke arah ruang tengah untuk menonton acara televisi, sementara aku ke dapur membuatkannya secangkir kopi juga membawakannya makanan kecil. Aku tak lupa menyilahkannya untuk duduk saja di sofa itu dan tak usah terlalu sungkan. Aku lalu menaruh kopi dan makanan itu di meja kecil dekat televisi. Sedang aku lalu mencari majalah yang akan aku baca di kamarku.
Sebab aku ingin ke kamar, apalagi aku kurang merasa nyaman jika di ruang tengah ini bersama dia. Apalagi hari telah beranjak malam. Sambil berlalu aku minta jika mau tidur Bang Roji jangan lupa mematikan TV sebab aku akan masuk kamar. Dia menyanggupinya. Hawa dingin malam itu membuatku semakin menjadi ingin cepat-cepat masuk kamar.
Baru saja aku masuk kamar dan ingin baca majalah, tiba-tiba lampu padam. Aku keluar kamar dan syukurlah lampu emergency langsung nyala. Begitu juga di kamar anakku, jadi dia tak akan terbangun karena lampu mati. Aku lihat Bang Roji, masih sibuk mematikan TV lalu mengecek kontak listrik yang berada di luar rumah, siapa tahu ada yang koslet katanya.
Rupanya padamnya lampu karena ada
gangguan angin dan dimatikan PLN sebab lampu jalan juga padam. Dia lantas masuk
ke dalam rumah. Aku pun bilang agar dia tidur di kamar putriku saja apalagi di
kamar itu tersedia karpet tebal di lantai yang biasa untuk bermain putriku
“Itu bisa dijadikin alas tidur Bang.” kataku.
Dia lalu masuk kamar putriku dan membentangkan karpet itu di lantai. Akupun membantunya mengambilkan karpet. Tanpa sadar aku terpeleset di dalam kamar putriku itu, kakiku terantuk kayu tempat tidur karena cahaya yang kurang terang. Aku meringis kesakitan, Bang Roji mendengar ringisan kesakitanku. Dia lalu berusaha memapah aku untuk duduk di pinggiran tempat tidur putriku.
Lalu dia menanyakan letak balsam, aku lalu menunjuk ke arah kotak obat yang terletak di ruang makan dekat dinding lemari. Beberapa saat Bang Roji keluar mengambil balsam untuk kakiku ini. Aku masih meringis kesakitan di mata kakiku. Tak lama kemudian kembali ke kamar dan berusaha memijiti mata kakiku yang terasa sakit.
Dengan mengoleskan balsam ke tempat yang sakit dia juga memijitinya. Aku merasa nyaman dipijit olehnya. Itulah pertama kali aku merasakan kulitku disentuh laki-laki lain. Lambat laun rasa sakit mulai berkurang dan terasa nyaman. Dengan intens ia terus memijiti telapak kakiku dan dengan sekali hentak aku terkejut karena sakit lalu rasa sakit itu mulai berkurang. Bang Roji memandangiku dari bawah.
“Bagaimana rasanya Bu?” tanyanya.
“Agak enakkan bang” jawabku singkat.
Aku merasakan kini pijitannya mulai naik ke arah betisku, saat itu aku masih duduk di atas pinggiran ranjang putriku dan kulihat dia masih nyenyak tidurnya. Ia seakan tak terganggu oleh suara hujan yang masih deras dan angin kencang diluar rumah. Aku mulai merasakan geli di sekitar betisku.
Gerakan pijatannya amat membuatku merasakan kehangatan tangan Bang Roji dan syukurlah saat itu aku mengenakan celana panjang piyamaku, jadi betisku yang putih ini masih terlindung dari pandangan matanya. Beberapa saat setelah merasakan enakkan aku pun turun ke lantai yang telah dialas dengan karpet tebal yang akan ditiduri Bang Roji.
Aku bersandar di pinggiran kayu tempat tidur putriku. Aku amat berterima kasih pada Bang Roji atas bantuannya itu. Akupun sempat memujinya yang pintar mijat, dengan merendah ia bilang itu hanya kebetulan. Aku sempat kurang nyaman saat dia menyebut aku Bu,padahal dia lebih tua dariku.
“Bang, jangan panggil aku Bu, panggil
aja aku dik atau nama aja” kataku, “aku gak enak…apalagi abang lebih tua
dariku”
“Baiklah jika begitu dik Risa” jawabnya lagi, “O ya, dik Risa, koq mas Dodo
jarang kelihatan sekarang ya?” tanyanya.
Aku sempat terkejut dia menanyakan tentang suamiku. Lalu aku jawab saja bahwa suamiku kini ditempatkan di pulau luar jawa, jadi dia lebih banyak di sana dari pada di sini terangku.
“Koq dik Risa gak ikut ke sana juga,
kan kasian Suci.” katanya.
“Yah, begitulah Bang, aku kan tidak bisa pindah kerja juga, apalagi kini aku
telah lama kerja di tempat yang sekarang, jadi sayang jika harus berhenti. ”
jawabku menutupi kemelut dalam rumah tanggaku.
Kami lalu berbincang mengenai beberapa hal yang memang jarang aku dengar dari mulut bang Roji. Malam itu aku berkempatan bicara banyak dengannya juga tentang masa lalu dia dan kedua istrinya. Kami berbincang hingga malam semakin larut, namun anehnya aku tak merasakan kantuk.
Akupun tak terlalu kuatir jika besok bangun kesiangan, apalagi sabtu dan minggu aku libur di kantor. Masih di kamar putriku aku seakan menemukan lawan bicara yang enak diajak bicara. Meskipun aku tahu kadang Bang Roji amat polos dalam pembicaraan namun aku tahu dia cukup berpengalaman dalam hal pergaulan bermasyarakat.
Kadang aku senyum-senyum mendengar dia bicara mengenai sifat dari kedua istrinya itu. Dari situ aku tahu ia bukanlah seorang satpam sembarangan. Dia juga memiliki segudang ilmu kanuragan juga silat yang dituntut dari mudanya. Dan merasa pembicaraan semakin hangat aku pun berusaha keluar kamar anakku untuk mengambil air minum.
Namun baru beberapa gerakan mau berdiri tiba tiba aku tak tahan, kakiku seakan ngilu. Aku tak sanggup berjalan ke luar, syukurlah aku tak sampai jatuh karena keburu di sambut Bang Roji ke pangkuannya.
Aku dipapahnya duduk kembali di tempat semula. Dia bilang aku jangan berjalan dulu, biar dia yang ambil minuman katanya. Aku diam saja dan diapun keluar kamar mengambil yang aku maksud tadi. Kemudian dia kembali ke kamar dan membawa air minum ke kamar. Lalu aku disuruhnya berbaring aja agar dipijat lagi. Aku mengikuti saja permintaannya itu. Bang Roji lalu mengambil bantal yang ada di atas ranjang putriku. Lalu diletakkannya di atas karpet dan aku disuruh rebahan agar gampang dipijat .
Selama dipijat aku merasakan amat rileks meskipun saat itu aku bersama pria lain. Sambil memijat kami selalu berbincang sampai ke hal masalah rumah tangga. Aku merasakan kenikmatan pijatannya telah membuatku kegelian dan merasa tercambuk gairah. Syukurlah saat itu bang Roji tak melihat perubahan di wajahku. Jujur saja saat itu aku mulai terangsang, kaki celana panjangku sudah naik kearah lutut.
Bang Roji menghentikan pijatannya,dia merasa aku sudah tak sakit lagi. Aku di suruh untuk menggerakkan kakiku itu. Syukurlah kembali baik dan gak terasa lagi sakitnya. Bang Roji lalu bilang dia akan keluar saja sebab malam sudah larut katanya. Aku lalu berdiri dan minta dia tidur di kamar ini saja, biar aku yang keluar kamar kataku. Bang Roji pun menuruti permintaanku. Aku kembali bangun dari rebahan dan duduk, Bang Roji pun kembali duduk di atas karpet itu.
Aku merasa malam semakin dingin, lalu berdiri melihat putriku. Kututupi tubuhnya dengan selimut tebal, sebab aku kuatir ia akan kedinginan malam itu. Lalu aku kembali duduk di lantai beralas karpet itu dan ngobrol lagi dengan Bang Roji, sepertinya dia belum ngantuk, aku juga. Kami ngobrol masalah Mpok Esih juga istri mudanya kadang diselinggi obrolan masalah sex dia dengan kedua istrinya.
Aku mendengar dengan penuh perhatian. Diam-diam dalam hatiku merasa iri akan perhatian dia pada istrinya juga rasa tanggung jawabnya pada keluarganya. Amat berbeda sekali dengan yang dikatakan Mpok Esih selama ini. Sebagai laki laki aku rasa ia amat bertanggung jawab, tidak seperti suamiku saat ini yang melalaikan keluarga.
Tanpa aku sadari aku menaruh simpati padanya, meskipun dia adalah seorang satpam dan tukang ojek serabutan. Namun karena tanggung jawabnya pada keluarga ia bisa menghidupi kedua keluarganya. Saat itu aku merasa amat kecil didepannya. Herannya aku semakin tak kuasa mendengar obrolannya yang amat menyentuh hatiku.
Karena merasa capai dengan posisi duduk, akupun merebahkan kepala di bantal kecil. Sambil rebahan aku mendengarkan kisah juga tentang kenakalannya dimasa lalu. Aku antusias mendengarnya meski mulai dihinggapi rasa dingin yang menusuk tulang, padahal aku sudah memakai celana panjang kimonoku.
Bang Roji melihat aku yang kedinginan menyarankan aku untuk memakai selimut atau sweater. Aku hanya mengambil selimut dari lemari kamar anakku dua lembar. yang satu buat Bang Roji dan yang satunya aku pakai.
Kututupi tubuhku dengan selimut, namun Bang Roji belum akan tidur tampaknya. Aku merasa saat itu seakan bisa menerima dia dan juga perhatiannya pada kami selama ini. Ia tampaknya tulus memberikan bantuan tenaga dan juga mau menemani putriku yang tanpa pamrih itu. Heran aku kini koq semakin merasa dia adalah sosok laki laki yang aku rasa bisa memberikan perlindungan padaku, pikiran-pikiran itu muncul tiba tiba.
Apakah aku telah kehilangan akal sehatku dengan menempatkan seorang pria yang dulunya amat aku takuti dan curigai karena perbuatannya dan juga kelakuannya yang amat tidak aku sukai sebagai sosok laki laki pelindung.
Aku semakin kehilangan akal sehatku dan menilai nilai diri Bang Roji dengan penilaian yang amat plus dan tak menghiraukan dari mana dia dan bagaimananya sifat dan latar belakangnya selama ini. Aku kini telah mengenyampingkan peran dan sosok suamiku yang notabene masih sebagai kepala keluarga dan suamiku yang syah.
Di saat itulah aku dikejutkan oleh panggilan Bang Roji yang tiba-tiba mengagetkan aku yang sedang melamun. Aku tersadar bahwa telah melamunkan hal yang gak aku sadari itu. Aku lalu hanya senyum dan bilang tadi aku hanya membayangkan apa yang Bang Roji ucapkan. Ia pun lalu bilang jika aku ngantuk ya tidur aja ke kamar sebab ia masih belum ngantuk katanya.
Aku merasa malu saat diingatkan di saat lamunanku terbang kemana-mana. Bang Roji pun bilang, apa aku punya masalah, sebab dari tadi saat dia ngobrol aku sepertinya menerawang dan tak nyambung. Dengan muka agak merah, aku mengangguk dan membenarkan tebakannya itu. Bang Roji pun terdiam dan hanya memandangku saja, matanya tajam memandang bola mataku.
Aku hanya menundukkan wajahku, tak tahan ditatap seperti itu. Ia lalu berkata, jika aku tak keberatan ya boleh diutarakan aja katanya lagi. Lalu ia bertanya apakah selama ini ia dan istrinya sering membuatku merasa terganggu. Aku jawab bahwa gak ada hubungannya dengan keberadaan Bang Roji disini. Lalu ia menebak lagi, apakah suamiku tak suka jika ia dan istrinya sering membantuku?
Aku hanya menggelengkan kepalaku, pertanda tebakannya tak benar. Bang Roji lalu bilang, jika ia menganggu ketenangan aku, ya dia biar keluar kamar saja katanya sambil berdiri. Aku lalu menahan tangannya agar tidak keluar kamar. Aku heran kenapa saat itu langsung menahan tangannya untuk berdiri padahal dia bukanlah siapa siapa aku.
Merasa aku tak menghendaki dia keluar kamar, Bang Roji pun mengurungkan niatnya. Dia lalu kembali duduk di sampingku. Ketika itu tangannya masih berada di genggamanku. Herannya aku tak juga melepaskan tangan Bang Roji. Kini kami duduk di lantai dengan berdampingan. Dengan suara yang agak serak aku minta Bang Roji menemani aku sambil ngobrol meski aku tak peduli lagi aku bersama siapa malam itu.
Apalagi aku lihat putriku masih terbaring nyenyak dalam tidurnya, ia tak akan tahu bagaimana problema yang aku rasakan saat ini. Apalagi untuk anak seusia itu yang masih kecil. Di saat itu sebenarnya aku ingin ada yang menemaniku dan mendengarkan keluh kesahku yang kini mendera, aku merasakan Bang Roji cocok untuk diajak ngobrol paling kurang sebagai penampung unek-unekku.
Akupun lalu menumpahkan segala beban yang ada di hatiku selama ini dan tak lagi memandang dia siapa. Mulai dari saat aku menempati rumah ini hingga masalah rumah tanggaku yang dilanda dilema. Dia juga semakin antusias mendengar penuturan aku. Bang Roji pun semakin merapatkan tubuhnya kepadaku yang pada saat itu aku juga butuh tempat merebahkan kepalaku.
Dalam keadaan labil saat itu,aku mandah saja di dada bidangnya. Perlahan aku seolah nyaman rebah di dadanya, diapun berusaha membuatku rileks. Aku mulai merasakan rasa damai dan tentram saat itu. Bang Roji lalu berusaha membelai-belai rambutku. Ada rasa hangat yang aku rasakan di saat itu. Belaiannya di kepalaku seakan mampu menghilangkan kegundahanku selama ini.
Aku sendiri sebenarnya amat bingung saat itu. Apakah yang terjadi sebenarnya didalam diriku. Aku pun masih memegang tangan kiri Bang Roji dan Bang Roji masih membelai rambutku juga samping pipiku. Aku merasakan semua masalahku selama ini hilang saat itu. Kini aku memasrahan diri pada Bang Roji.
Aku seolah tak memiliki pilihan lain lagi untuk keluar dari masalah ini. Aku tahu ini amat bertentangan dengan norma kepatutan dan norma di masyarakat, apalagi dia adalah seorang satpam yang tidak berhak ikut dalam prolema keluargaku.
BERSAMBUNG.