Kejadian
ini berlangsung kira-kira 2 tahun yang lalu, waktu itu aku diminta oleh ibu
mertua untuk mengambil suatu barang di rumah kakak ipar perempuanku sekalian
menengok dia karena sudah lama tidak ketemu. Kakak iparku ini (sebut saja
namanya Yanti) memang tinggal sendirian, walaupun sudah kawin tetapi belum
punya anak dan saat ini sudah pisah ranjang dengan suaminya yang kerja di kota
lain. Aku sampai di rumahnya sekitar jam 19:00 dan langsung mengetuk pintu
pagarnya yang sudah terkunci. Tak lama kemudian Ina muncul dari dalam dan sudah
tahu bahwa aku akan datang malam ini.
“Ayo dit, masuk. . , langsung dari kantor?, Sorry pintunya sudah digembok,
soalnya Yanti tinggal sendiri jadi harus hati-hati”, Sambutnya.
Yanti malam itu sudah memakai daster tidur karena toh yang bakalan datang juga
masih terhitung adiknya, daster yang dia pakai mempunyai potongan leher yang
lebar dengan model tangan ‘you can see’.
Kami
kemudian ngobrol dan nonton TV sambil duduk bersebelahan di sofa ruang tengah.
Selama ngobrol, Yanti sering bolak-balik mengambil minuman dan snack buat kita
berdua. Setiap dia menyajikan makanan atau minuman di meja, secara tidak
sengaja aku mendapat kesempatan melihat kedalam dasternya yang menampilkan kedua
teteknya secara utuh karena Yanti tidak memakai BH lagi dibalik dasternya. Yanti
memang cantik, tubuhnya tinggi semampai dengan kulit yang putih dan rambut yang
panjang tergerai. Walaupun sudah kawin cukup lama tapi karena tidak punya anak
tubuhnya masih terlihat langsing dan ramping. Teteknya yang kelihatan olehku,
walaupun tidak terlalu besar tetapi tetap padat dan membulat. Melihat
pemandangan begini terus-menerus aku mulai tidak bisa berpikir jernih lagi dan
puncaknya tiba-tiba kusergap dan tindih Yanti di sofa sambil berusaha menciumi
bibirnya dan meremas-remas teteknya.
Yanti kaget dan menjerit, “dit, apa-apaan kamu ini!”.
Dengan sekuat tenaga dia mencoba berontak, menampar, mencakar dan
menendang-nendang. Tapi perlawanannya membuat birahiku semakin tinggi apalagi
akibat gerakannya itu pakaiannya menjadi makin tidak karuan dan semakin
merangsang.
“Breett. . “, daster bagian atas kurobek ke bawah sehingga sekarang kedua
teteknya terpampang dengan jelas. Putingnya yang berwarna coklat tua terlihat kontras
dengan kulitnya yang putih bersih.
Yanti terlihat shock dengan kekasaranku, perlawanannya mulai melemah dan kedua
tangannya berusaha menutup dadanya yang terbuka.
“dit. . , ingat, kamu itu adik iparku. . “, rintihnya memelas.
Aku tidak mempedulikan rintihannya dan terus kutarik daster yang sudah robek
itu ke bawah sekaligus dengan celana dalamnya yang sudah aku tidak ingat lagi
warnanya. Sekarang dengan jelas dapat kulihat memeknya yang ditumbuhi dengan
bulu-bulu hitam yang terawat baik.
Setelah
berhasil menelanjangi Yanti, kulepaskan pegangan pada dia dan berdiri di
sampingnya sambil mulai melepaskan bajuku satu persatu dengan tenang. Yanti
mulai menangis sambil meringkuk di atas sofa sambil sebisa mungkin mencoba
menutupi badannya dengan kedua tangannya. Saat itu pikiranku mulai jernih
kembali menyadari apa yang telah kulakukan tapi pada titik itu, aku merasa
tidak bisa mundur lagi dan aku putuskan untuk berlaku lebih halus.
Setelah aku sendiri telanjang, kubopong tubuh mungil Yanti ke kamarnya dan kuletakkan
dengan lembut di atas ranjang. Dengan halus kutepiskan tangannya yang masih
menutupi tetek dan memeknya, kemudian aku mulai menindih badannya. Yanti tidak
melawan. Yanti memalingkan muka dengan mata terpejam dan berurai air mata
setiap kali aku mencoba mencium bibirnya. Gagal mencium bibirnya, aku teruskan
menciumi telinga, leher dada dan berhenti untuk mengulum puting dan
meremas-remas tetek satunya lagi. Ina tidak bereaksi. Aku lanjutkan petualangan
bibirku lebih ke bawah, perut dan memeknya sambil merentangkan pahanya
lebar-lebar terlebih dahulu. Aku mulai dengan menjilati dan menghisap
clitorisnya yang cukup kecil karena sudah disunat (sama dengan istriku). Yanti
mulai bereaksi. Setiap kuhisap clitorisnya Yanti mulai mengangkat pantatnya
mengikuti arah hisapan.
Kemudian
dengan lidah, kucoba membuka labia minoranya dan memainkan lidahku pada bagian
dalam memeknya. Tangan Yanti mulai meremas-remas kain sprei sambil menggigit
bibir. Ketika memeknya mulai basah kumasukkan jari menggantikan lidahku yang
kembali berpindah ke puting teteknya. Mula-mula hanya satu jari kemudian
disusul dua jari yang bergerak keluar masuk memeknya. Yanti mulai berdesah dan
memalingkan mukanya ke kiri dan ke kanan. Sekitar dua atau tiga menit kemudian
aku tarik tanganku dari memeknya. Merasakan ini, Yanti membuka matanya (yang
selama ini selalu tertutup) dan menatapku dengan pandangan penuh harap seakan
ingin diberi sesuatu yang sangat berharga tapi tidak berani ngomong. Aku segera
merubah posisi badanku untuk segera menyetubuhinya. Melihat posisi ‘tempur’
seperti itu, pandangan matanya berubah menjadi tenang dan kembali menutup
matanya. Kuarahkan kontolku ke bibir memeknya yang sudah berwarna merah matang
dan sangat becek itu. Secara perlahan kontolku masuk ke memeknya dan Yanti
hanya mengigit bibirnya. Tiba-tiba tangan Yanti bergerak memegang sisa kontolku
yang belum sempat masuk, sehingga penetrasiku tertahan.
“dit, kita tidak boleh melakukan hal ini. . “, Kata Yanti setengah berbisik
sambil memandangku.
Tapi waktu kulihat matanya, sama sekali tidak ada penolakkan bahkan lebih
terlihat adanya birahi yang tertahan. Aku tahu dia berkata begitu untuk
berusaha memperoleh pembenaran atas perbuatan yang sekarang jadi sangat
diinginkannya.
“Tidak apa-apa ‘teh, kita kan bukan saudara kandung, jadi ini bukan incest”,
Jawabku.
“Nikmati saja dan lupakan yang lainnya”.
Mendengar perkataanku itu, Yanti melepaskan pegangannya pada kontolku yang
sekaligus aku tangkap sebagai instruksi untuk melanjutkan ‘perkosaannya’. Dalam
‘posisi standard’ itu aku mulai memompa Yanti dengan gerakan perlahan, setiap
kali kontolku masuk, aku ambil sisi memek yang berbeda sambil mengamati
reaksinya. Dari eksperimen awal ini aku tahu bahwa bagian paling sensitif dia
terletak pada dinding dalam bagian atas yang kemudian menjadi titik sasaran
kontolku selanjutnya.
Strategi
ini ternyata cukup efektif karena belum sampai dua menit Yanti sudah orgasme,
tangannya yang asalnya hanya meremas-remas sprei tiba-tiba berpindah ke
pantatku. Yanti dengan kedua tangannya berusaha menekan pantatku supaya
kontolku masuk semakin dalam, sedangkan dia sendiri mengangkat dan
menggoyangkan pantatnya untuk membantu semakin membenamnya kontolku itu. Untuk
sementara kubiarkan dia mengambil alih.
“sshh. . , aahh”, rintihnya berulang-ulang setiap kali kontolku terbenam.
Setelah Yanti mulai reda, inisiatif aku ambil kembali dengan merubah posisi
badanku untuk style ‘pumping flesh’ untuk mulai memanaskan kembali birahinya
yang dilanjutkan dengan style ‘stand hard’ (kedua kaki Yanti dirapatkan, kakiku
terbuka dan dikaitkan ke betisnya). Style ini kuambil karena cocok dengan cewek
yang bagian sensitifnya seperti Yanti dimana memek Yanti tertarik ke atas oleh
gerakan kontol yang cenderung vertikal. Yanti mengalami dua kali orgasme dalam
posisi ini.
Ketika gerakan Ina semakin liar dan juga aku mulai merasa akan ejakulasi aku
rubah stylenya lagi menjadi ‘frogwalk’ (kedua kaki Yanti tetap rapat dan aku
setengah berlutut/berjongkok). Dalam posisi ini setiap kali aku tusukkan kontolku,
otomatis memek sampai pantat Yanti akan terangkat sedikit dari permukaan kasur
menimbulkan sensasi yang luar biasa sampai pupil mata Yanti hanya terlihat
setengahnya dan mulutnya mengeluarkan erangan bukan rintihan lagi.
“Na, aku sudah mau keluar. Di mana keluarinnya?”, Kataku sambil terus memompa
secara pelan tapi dalam.
“ddi dalam saja. . , di dalam saja, aahh. . , jangan pedulikan”, Yanti mejawab
ditengah erangan kenikmatannya.
“Aku keluar sekarraang. . “, teriakku.
Aku tekan memeknya keras-keras sampai terangkat sekitar 10 cm dari kasurnya dan
cairan kenikmatan tersemprot dengan kerasnya yang menyebabkan untuk sesaat aku
lupa akan dunia.
“Jangan di cabut dulu dit. . “, bisik Yanti.
Sambil mengatur napas lagi, aku rentangkan kembali kedua paha Yanti dan aku
pompa kontolku pelan-pelan dengan menekan permukaan bawah memek pada waktu
ditarik. Dengan cara ini sebagian sperma yang tadi disemprotkan bisa
dikeluarkan lagi sambil tetap dapat menikmati sisa-sisa birahi. Yanti
menjawabnya dengan hisapan-hisapan kecil pada kontolku dari memeknya
“dit, kenapa kamu lakukan ini ke Yanti?”, tanyanya sambil memeluk pinggangku.
“Kamu sendiri rasanya gimana?”, aku balik bertanya.
“Mulanya kaget dan takut, tapi setelah kamu berubah memperlakukan Yanti dengan
lembut tiba-tiba birahi Yanti terpancing dan akhirnya turut menikmati apa yang
belum pernah Yanti rasakan selama ini termasuk dari suami Yanti”, Jawabnya.
Kita kemudian mengobrol seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa dan sebelum pulang kusetubuhi Yanti sekali lagi, kali ini dengan sukarela. Sejak malam itu, aku ‘memelihara’ kakak iparku dengan memberinya nafkah lahir dan batin menggantikan suaminya yang sudah tidak mempedulikannya lagi. Yanti tidak pernah menuntut lebih karena istriku adalah adiknya dan aku membalasnya dengan menjadikan ‘pendamping tetap’ setiap aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri.
Memang selama ini yanti pun sama menyimpan hasrat birahi yang tinggi terhadapku jadi ketika sesuatu itu terjadi ibarat satu aliran yang masuk antara positif dan negative maka akan menimbulkan sebuah kumparan api yang meletup tinggi.